PROSES PENGALIHAN DAN EKSISTENSI HAK ULAYAT ATAS TANAH ADAT SUKU WAMENA KABUPATEN JAYAWIJAYA PROVINSI PAPUA
Jul 2nd, 2008 by admin2
1.1. Latar Belakang Masalah
Pelaksanaan pembangunan sebagai wujud dari pertumbuhan dan perkembangan suatu daerah selalu berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan lahan. Kebutuhan akan lahan ini terus meningkat karena sifatnya yang tidak terbatas, sedangkan disisi lain ketersediaan lahan terbatas. Fenomena ini terus berkembang sehingga seringkali menimbulkan kesulitan dalam penyediaan lahan untuk kepentingan pembangunan. Hal ini mengakibatkan nilai dan harga lahan terus meningkat sehingga penguasaan/okupasi atas lahan bagi masyarakat dewasa ini mengalami pergeseran nilai dari fungsi sosial ke fungsi ekonomi, sehingga lahan merupakan komoditi ekonomi yang harus dikuasai baik secara legal maupun ilegal.
Alasan pembangunan untuk mengambil tanah rakyat, sudah sering kali digunakan pemerintah dan pihak penguasa untuk menguasai tanah rakyat. Salah satu tanah yang dianggap milik pemerintah, sehingga boleh diambil sewenang-wenang oleh pemerintah adalah tanah ulayat. Tanah ulayat sebenarnya bukan milik pemerintah, dan bukan pula milik orang tertentu. Tanah ulayat ini diadakan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat, sehingga tiadanya kepemilikan berarti bahwa semua masyarakat boleh memanfaatkan tanah itu untuk kepentingannya. Biasanya pengelolaan tanah ulayat ini dimiliki oleh suku atau kelompok adat tertentu, dimana tanah ulayat itu berada. Oleh karena itulah tanah ulayat biasanya identik dengan tanah milik adat dan pengaturannya dilakukan oleh masyarakat hukum adat. Karena adat itu berbeda-beda antara suku yang satu dengan yang lain, maka pengaturan tanah ulayat juga berbeda-beda, tergantung dari suku yang menguasai tanah ulayat tersebut.
Di Indonesia keberadaan hak ulayat ini ada yang masih kental, ada yang sudah menipis dan ada yang sudah tidak ada sama sekali. Akan tetapi eksistensi tanah ulayat itu sendiri masih diakui. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya pengakuan terhadap tanah ulayat yang diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria UU No. 5 Th. 1960. Adapun bunyi ketentuan yang mengukuhkan eksistensi hak ulayat adalah Pasal 3 UUPA yang menyatakan :
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan (hukum) lain yang lebih tinggi”.
Dengan adanya ketentuan Pasal 3 UUPA sebagaimana disebutkan di atas dapat diketahui bahwa secara hukum hak ulayat ini diakui sehingga keberadaannya sah menurut hukum. Oleh karena itu hak ulayat masih tetap dapat dilaksanakan oleh masing-masing masyarakat hukum adat yang memilikinya.
Pengakuan hak ulayat dalam Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria, menjadi dasar yang kuat bagi kelompok masyarakat adat untuk menguasai, mengatur dan memanfaatkan tanah-tanah ulayatnya. Maria (2001:55) menyebutkan “Eksistensi hak ulayat adalah hal yang wajar karena hak ulayat masyarakat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya Negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.” Hal yang sama dikemukakan oleh Daeng (2000:123) bahwa Pasal 2 ayat (4) UUPA Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara No. 104 Tahun 1960) ditentukan bahwa hal yang menguasai atas tanah dari negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swantara dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Hal ini berarti bahwa pemerintah tetap menghargai hukum adat tanah suatu masyarakat.
Penduduk asli Papua seperti suku Amungme, Dani, Lani, dan Moni semuanya mempunyai tanah ulayat yang bisa dimanfaatkan untuk memakmurkan anggota sukunya. Dasar hukum yang kuat tentang keberadaan hak ulayat, membuat masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk mempertahankan tanah ulayat. Oleh karena itu jika ada pihak lain yang ingin menggunakan tanah adat, harus melalui pelepasan adat sesuai dengan adat suku yang menguasai tanah ulayat tersebut.
Akan tetapi dalam prakteknya, pemerintah sering kali bersikap tidak adil kepada masyarakat hukum adat dengan cara mengambil alih tanah adat, tanpa melalui pelepasan adat. Hal ini dilakukan pemerintah dalam rangka memberikan konsesi kepada perusahaan besar untuk mengelola tanah ulayat atau untuk melakukan kegiatan pembangunan lainnya. Padahal tanah yang diambil alih itu dipergunakan oleh masyarakat hukum adat untuk mencari penghidupan dari pertanian. Hal ini membuat masyarakat hukum adat yang menggantungkan pencahariannya dari tanah tersebut menjadi kehilangan sumber penghidupannya. Namun atas kesewenang-wenangan tersebut, masyarakat hukum adat tidak dapat berbuat apa-apa. Hal ini dikarenakan, ketika masyarakat protes, maka kekerasanlah yang mereka terima, dan bukan penyelesaian yang baik. Dalam hal ini telah terjadi pengeksploitasian atas sumberdaya alam secara besar-besaran untuk kepentingan pemilik modal besar tanpa memperhatikan hak kehidupan sosial ekonomi masyarakat hukum adat yang tanah ulayatnya dirampas. Sedangkan masyarakat hukum adat menjadi termarginalisasi, ditindas, diintimidasi, diteror hingga di bunuh ketika mempertahankan hak kepemilikannya.
Contoh kasus perampasan hak atas tanah adat, adalah kasus PT. Freeport yang beroperasi sejak 1967 hingga saat ini, perusahaan-perusahaan HPH, dan lain sebagainya yang merugikan masyarakat. Pemekaran provinsi dan distrik-distrik baru telah membuka peluang bagi pelepasan ratusan-ribuan hektar tanah untuk lokasi perluasan pembangunan infrastruktur kantor pemerintahan pemekaran. Keterlibatan militer dan polisi dalam berbagai perusahaan-perusahaan multi nasional-HPH, dan juga perampasan sumber daya alam (penyelundupan kayu, marga satwa, dan lain-lain), serta pelepasan tanah adat untuk kepentingan pembangunan instalasi militer-polisi adalah wajah lain dari kesewenang-wenangan yang dialami masyarakat hukum adat.
Semua itu mengakibatkan perbedaan kesejahteraan antara penduduk asli dengan pendatang semakin besar. Kesenjangan ini semakin tajam dengan tidak diberikannya kesempatan kepada penduduk asli untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan, walaupun penduduk asli Papua sendiri sudah banyak mempunyai SDM yang mempunyai pendidikan dan pengalaman kerja yang baik. Semua itu tetap berlaku walaupun Papua telah diberi otonomi khusus. Tetap terjadi diskriminasi penduduk lokal untuk mendapatkan hak yang sama dengan penduduk pendatang. Hal ini mengakibatkan penduduk asli mempunyai perasaan tertekan dan seakan-akan memendam bom waktu yang siap meledak setiap saat.
Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor: Hp/Wa. 0812 2701 6999 atau 0817 273 509. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :) |
Adanya kesewenang-wenangan yang dialami masyarakat kaum adat baru tersalurkan setelah reformasi dikumandangkan. Adanya keterbukaan kran demokrasi telah membuat semua penduduk di Indonesia, termasuk di Papua, mempunyai kesempatan untuk mengeluarkan aspirasinya. Salah satu aspirasi yang diperjuangkan masyarakat adalah keinginan untuk mendapatkan tanah ulayatnya kembali. Hal ini menjadi penting karena sebagai penduduk yang mayoritas mempunyai mata pencaharian sebagai petani, penduduk sangat memerlukan lahan untuk melaksanakan kegiatan pertanian. Walaupun tanah ulayat yang sudah dipergunakan itu tidak mungkin kembali lagi, akan tetapi setidak-tidaknya jika pemerintah memberikan ganti rugi atas penggunaan tanah ulayat tersebut, maka masyarakat dapat membeli tanah baru untuk melaksanakan kegiatan pertaniannya.
Hal ini juga terjadi pada masyarakat Suku Wamena, Papua. Muncul tuntutan ganti rugi terhadap tanah ulayat yang telah dipergunakan oleh pemerintah. Tuntutan untuk pemberian ganti rugi ini disikapi dengan kurang serius karena dianggap merupakan masalah lama yang dianggap sudah selesai. Akan tetapi lain halnya dengan masyarakat hukum adat yang merasa bahwa perjuangan mereka untuk mendapatkan ganti rugi atas tanah ulayatnya masih sangat relevan, mengingat sebelumnya perjuangan mereka mendapatkan ganti rugi masih belum mendapat tanggapan pemerintah (hasil wawancara dengan Kepala Suku Kok Matuan Abihut pada tanggal 23 Juni 2003).
Sikap diam yang diambil pemerintah sesuai dengan kepentingan pemerintah itu sendiri, yaitu tetap menggunakan hak ulayat tanpa harus memberi ganti rugi. Di lain pihak, masyarakat hukum adat mempunyai kepentingan untuk mendapatkan ganti rugi guna membeli lahan baru mereka. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa terdapat perbedaan kepentingan antara pemerintah dan masyarakat hukum adat.
Bagi masyarakat hukum adat sendiri, apa yang mereka lakukan sudah sesuai dengan pengetahuan mereka bahwa sebagai tanah adat, maka untuk bisa mendapatkan hak memakai tanah adat tersebut, maka pihak lain harus melalui pelepasan adat. Padahal sejak tanah ulayat tersebut diambil oleh pemerintah, belum pernah terjadi pelepasan adat. Dalam pelepasan adat ini, salah satu syaratnya adalah memberi ganti rugi kepada masyarakat hukum adat atas dipergunakannya tanah adat untuk kepentingan pemerintah. Di lain pihak, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, pemerintah daerah Kabupaten Jayawijaya merasa berhak untuk mengambil alih tanah ulayat, karena pasal tersebut menentukan bahwa ”Tanah, air, bumi, dan kekayaan lama yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemamuran rakyat.”
Menurut pengetahuan pemerintah, bahwa dengan berdasarkan pada Pasal 33 ayat (3) tersebut, maka pemerintah berhak untuk mengambil alih tanah milik masyarakat hukum adat, begitu saja, tanpa harus memberi ganti kerugian. Akan tetapi mengingat masih berlakunya hukum adat dan sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UUPA bahwa hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, maka itu berarti bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat itu tetap eksis. Lebih lanjut hal itu berarti bahwa, pemerintah harus mematuhi ketentuan hukum adat yang berlaku di mana tanah ulayat itu berada.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa selain perbedaan kepentingan, juga terjadi perbedaan pengetahuan antara masyarakat hukum adat dengan pemerintah. Hal ini menyebabkan timbulnya konflik tanah ulayat. Konflik ini terus berkembang, karena kedua belah pihak tidak mendapatkan kesepahaman akan pemecahan masalah perbedaan kepentingan dan pengetahuan itu.
Contoh konflik tanah ulayat yang telah terjadi di Papua adalah tuntutan masyarakat hukum adat untuk mendapatkan ganti rugi atas tanah mereka yang sekarang menjadi lapangan terbang Sentani (http://www.mail-archive.com). Pada awalnya masyarakat meminta ganti rugi secara baik-baik, akan tetapi, permintaan tersebut tidak diperhatikan oleh pihak berwenang. Akhirnya masyarakat menggunakan cara kekerasan yang akhirnya berbuah keberhasilan, karena pihak yang dituntut tidak tahan terhadap intimidasi yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat.
Adanya tuntutan ganti rugi oleh masyarakat hukum adat memicu konflik yang luas, karena akhirnya adanya keberhasilan yang diperoleh salah satu masyarakat adat, membuat masyarakat adat yang lain juga ingin mendapatkan ganti rugi yang sama. Oleh karena itu suku yang lain inipun melakukan klaim lagi kepada pemerintah. Akibatnya, pihak pemerintah merasa keberatan, karena merasa telah cukup memberikan ganti rugi. Namun jika ganti rugi tidak diberikan, masyarakat hukum adat, terus memaksa dengan menggunakan kekerasan dengan cara melakukan aksi pemblokiran bandara, kantor bandara dan perumahan penduduk disekitar bandara.
Sebenarnya, munculnya klaim ganti rugi dari masyarakat hukum adat tersebut dipicu oleh ketidakadilan ekonomi yang menimpa mereka selama ini. Masyarakat asli Papua berada di tengah daerah yang kaya akan hasil hutan, hasil bumi, hasil tambang, dan hasil-hasil lainnya, namun mereka tidak menikmati semua itu. Justru kaum pendatang dan orang dari luar negeri yang menikmati kekayaan alam Papua yang sangat banyak. Semua itu menyebabkan masyarakat asli Papua semakin miskin, sedangkan kaum pendatang semakin kaya. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial yang besar kepada kaum pendatang. Akan tetapi selama ini, kecemburuan itu tidak tersalurkan. Oleh karena itulah, ketika kesempatan itu datang dengan mengatasnamakan tuntutan ganti rugi tanah ulayat, maka masyarakat hukum adat memanfaatkan moment tersebut untuk menyalurkan kekecewaannya selama ini. Fenomena di atas, terungkap dari pernyataan kepala-kepala suku yang melakukan pemalangan di lokasi bandara Sentani yang mereka klaim sebagai hak ulayat mereka (http://www.mail-archive.com).
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa konflik tanah ulayat yang terjadi, tidak semata-mata karena memperjuangkan tanah ulayat itu sendiri, tetapi mempunyai aspek yang lebih luas lagi, yaitu memperjuangkan kesejahteraan masyarakat Papua pada umumnya. Akan tetapi karena terjadinya perbedaan kepentingan dan pengetahuan, maka hal ini menjadi konflik yang sulit untuk diselesaikan. Oleh karena itulah penulis tertarik untuk meneliti masalah ini, agar bisa memberikan saran yang dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat konflik, sehingga semua pihak merasa menang (win-win solution).
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut:
- Bagaimana dinamika konflik tanah adat Suku Wamena di Kabupaten Jayawijaya?
- Bagaimana penyelesaian konflik tanah adat Suku Wamena di Kabupaten Jayawijaya?
- Faktor-faktor apa yang mempengaruhi optimalisasi penyelesaian konflik tanah adat Suku Wamena di Kabupaten Jaya?
- Baca selengkapnya »
===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================