AKIBAT PERCERAIAN TERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA BAGI YANG BERAGAMA ISLAM SETELAH DIBERLAKUKANNYA UU NO. 1 TH. 1974 DI KOTA YOGYAKARTA
Jul 4th, 2008 by admin3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah ikatan yang suci antara pria dan wanita dalam suatu rumah tangga. Melalui perkawinan dua insan yang berbeda disatukan, dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Perkawinan yang diadakan ini diharapkan dapat berlangsung selama-lamanya, sampai ajal memisahkan.
Walaupun perkawinan itu ditujukan untuk selama-lamanya, tetapi ada kalanya terjadi hal-hal tertentu yang menyebabkan perkawinan tidak dapat diteruskan, misalnya salah satu pihak berbuat serong dengan orang lain, terjadi pertengkaran terus-menerus antara suami isteri, suami/isteri mendapat hukuman lima tahun penjara atau lebih berat, dan masih banyak lagi alasan-alasan yang menyebabkan perceraian.
Adanya perceraian membawa akibat hukum terputusnya ikatan suami isteri. Apabila dalam perkawinan telah dilahirkan anak, maka perceraian juga membawa akibat hukum terhadap anak, yaitu orang tua tidak dapat memelihara anak secara bersama-sama lagi, untuk itu pemeliharaan anak diserahkan kepada salah satu dari orang tua. Di lain pihak akibat perceraian terhadap harta kekayaan adalah harus dibaginya harta bersama antara suami isteri tersebut.
Berkaitan dengan masalah pemeliharaan anak setelah perceraian, di dalam Pasal 41 UU No. 1 Th. 1974 terdapat ketentuan yang mengatur hal ini. Adapun bunyi ketentuan Pasal 41 tersebut adalah :
- Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memlihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi putusannya.
- Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaannya pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
- Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
Dari ketentuan Pasal 41 diatas dapat diketahui bahwa baik bapak maupun ibu mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap pemeliharaan anak meskipun telah bercerai.
Dalam prakteknya, sehubungan dengan pemeliharaan anak ini sering timbul masalah baru setelah perceraian, yaitu orang yang bercerai memperebutkan hak pemeliharaan anaknya. Masalah seperti ini sering membutuhkan waktu persidangan yang lama di pengadilan, karena masing-masing bapak dan ibu tidak mau mengalah. dalam hal demikian biasanya hakim akan memutuskan bahwa hak pemeliharaan anak yang masih dibawah umur 12 tahun (belum mumayyiz) diserahkan kepada ibu, sedangkan hak pemeliharaan anak untuk anak yang berumur 12 tahun atau lebih ditentukan berdasarkan pilihan anak sendiri, ingin di pelihara ibu atau di pelihara bapaknya. Namun demikian ada pengecualian terhadap hal ini, yaitu jika anak yang masih dibawah umum 12 tahun sudah dapat memilih, maka anak di suruh memillih sendiri untuk dipelihara ibu atau bapaknya.
Masalah lain yang berkaitan dengan anak adalah apabila orang tua yang memegang hak pemeliharaan anak menikah lagi dengan orang lain. Dalam hal ini maka orang tua lainnya yang tidak menikah lagi dapat meminta kembali hak pemeliharaan anaknya melalui pengadilan. Adapun alasan yang diajukan adalah ia khawatir apabila anak ikut orang tua tiri maka perhatian dan kasih sayang yang diterima anak tidak akan cukup. Atas permohonan ini, pengadilan yang memanggil para pihak untuk didengar keterangannya.
Demikian juga dalam masalah harta bersama, sering terjadi sengketa antara suami dan istri yang harus diselesaikan di pengadilan. Sengketa ini berkisar dalam masalah perebutan harta yang diakui sebagai milik pribadi, padahal harta itu adalah harta bersama.
Perceraian dalam istilah ahli fiqih disebut talak atau furqah. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Furqah berarti bercerai, yang merupakan lawan dari berkumpul.Kemudian kedua perkataan ini dijadikan istilah oleh para ahli fiqih yang berarti perceraian antara suami istri.[1]
Tidak ada seorang pun yang ketika melangsungkan perkawinan mengharapkan akan mengalami perceraian. Apalagi jika dari perkawinan itu telah dikarunia anak. Walaupun demikian ada kalanya ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat di teruskan lagi sehingga terpaksa harus terjadi perceraian antara suami istri.[2]
Untuk melakukan perceraian pihak yang ingin melakukan perceraian harus mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Th. 1974 yang menentukan bahwa “Pengadilan hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Jadi jika dalam sidang-sidang pengadilan, hakim dapat mendamaikan kedua belah pihak yang akan bercerai itu, maka perceraian tidak jadi dilakukan.
Dalam hal ini adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, semata-mata ditujukan demi kepastian hukum dari perceraian itu sendiri. Seperti diketahui bahwa putusan yang berasal dari lembaga peradilan mempunyai kepastian hukum yang kuat, dan bersifat mengikat para pihak yang disebutkan dalam putusan itu. Dengan adanya sifat yang mengikat ini, maka para pihak yang tidak mentaati putusan Pengadilan dapat dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku. Sebagai contoh, bekas suami yang tidak mau memberikan biaya hidup yang ditentukan oleh Pengadilan selama isteri masih dalam masa iddah atau tidak mau memberikan biaya pemeliharan dan pendidikan anak yang di wajibkan kepadanya, dapat dituntut oleh bekas istri dengan menggunakan dasar putusan Pengadilan yang telah memberikan kewajiban itu kepada bekas suami.
Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor: Hp/Wa. 0812 2701 6999 atau 0817 273 509. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :) |
Adapun Pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara perceraian ialah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.[3]
Setelah perkawinan putus karena perceraian, maka sejak perceraian itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dalam arti telah tidak ada upaya hukum lain lagi oleh para pihak, maka berlakulah segala akibat putusnya perkawinna karena perceraian. Jika dari perkawinan yang telah dilakukan, terdapat anak, maka terhadap anak tersebut berlaku akibat perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Th. 1974.
Di lain pihak bagi pemeluk agama Islam, akibat putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 149 – 162 Kompilasi Hukum Islam. Khusus untuk akibat perceraian terhadap anak, dapat dilihat dalam Pasal 156 huruf a sampai f Kompilasi Hukum islam. Adapun isi selengkapnya dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
“Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadlonah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :
- Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu;
- Ayah;
- Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
- Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
- Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
- Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah;
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih mendapatkan hadlonah dari ayah atau ibunya;
c. Apabila pemegang hadlonah ternyata tidak dapat menjamin keselematan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadlonah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadlonah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadlonah pula;
d. Semua nafkah dan hadlonah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlonah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d);
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya”.
Ketentuan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam di atas, jika dibandingkan dengan ketentuan Pasal 41 UU No. 1 Th. 1974, jauh lebih lengkap. Hal ini wajar, mengingat ketentuan UU No. 1 Th. 1974 merupakan peraturan yang sifatnya umum (untuk semua agama), sedangkan Kompilasi Hukum Islam merupakan peraturan yang khusus untuk pemeluk agama Islam saja, sehingga ketentuan-ketentuan yang dimuat harus sedetail-detailnya.
Terlepas dari sifat umum dan khusus kedua peraturan itu, pada dasarnya ketentuan UU No. 1 Th. 1974 dan Kompilasi Hukum Islam menentukan kewajiban yang sama bagi orang tua yang bercerai untuk memelihara anaknya, hal mana yang justru sering menimbulkan persengketaan baru antara orang tua untuk memperebutkan hak pemeliharaan anaknya tersebut.
Namun demikian menurut Ahmad Azhar Basyir apabila perceraian terjadi antar suami isteri yang telah berketurunan, yang berhak mengasuh anak pada dasarnya adalah isteri (ibu anak-anak) dengan syarat isteri tersebut belum menikah dengan laki-laki lain.[4]
Dalam hal ini yang paling penting diperhatikan dalam menentukan pemberian pemeliharaan anak adalah kepentingan anak itu sendiri, dalam arti akan dilihat siapakah yang lebih mampu menjamin kehidupana anak, baik dari segi materi, pendidikan formal, pendidikan akhlak dan kepentingan-kepentingan anak lainnya.
Untuk menentukan orang yang paling dapat dipercaya untuk memelihara anak, di dalam Pengadilan biasanya hakim akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, Informasi ini dapat berasal dari para pihak sendiri, maupun berasal dari saksi-saksi yang biasanya dihadirkan dalam persidangan.
Untuk masalah harta kekayaan setelah perceraian, diatur di dalam Pasal 37 UU No. 1 Th. 1974, yang berbunyi “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Di dalam Penjelasan Pasal 37 UU No. 1 Th. 1974 dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
Dari adanya akibat hukum perceraian terhadap anak dan harta bersama yang timbul dalam perceraian seperti yang di uraikan diatas, menimbulkan minat saya untuk mengadakan penelitian mengenai akibat hukum perceraian terhadap anak dan harta bersama bagi yang beragama Islam setelah di berlakukannya UU No. 1 Th. 1974 di Kota Yogyakarta.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar berlakang masalah di atas dapat di rumuskan permasalahan sebagai berikut :
Bagaimana cara penyelesaian di Pengadilan Agama Yogyakarta jika terjadi sengketa yang berkaitan dengan pemeliharaan anak dan pembagian harta bersama setelah terjadinya perceraian?
[1] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 2004, hal. 156.
[2] Soemiyati, 2003. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang No. 1 Th. 1974 tentang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, hal. 103.
[4]Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, BPFH UII, Yogyakarta, 1995, hal. 91.
- Baca selengkapnya »
===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================