BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah mahluk sosial sehingga dia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Salah satu pekerjaan dalam bidang jasa yang sifatnya membantu pekerjaan rumah tangga adalah pembantu. Dengan kehadiran mereka tentu saja akan meringankan pekerjaan rumah tangga. Pembantu berasal dari kata dasar ‘bantu’, fungsi pembantu itu sendiri dulunya hanya sebatas orang yang membantu pekerjaan rumah tangga, walaupun kenyataannya kini peran mereka sudah tidak hanya membantu saja tapi juga menjadi pokok penyelesaian urusan rumah tangga. Mulai dari membersihkan rumah, belanja, memasak, mencuci baju sampai mengasuh anak. Dengan bantuan mereka ini, pemilik rumah mendapat banyak kemudahan dan tidak terlalu lelah.
Dalam hierarkhi jam kerja, jenis pekerjaan, dan hak-haknya, pembantu belum bisa diklasifikasikan ke dalam golongan buruh baik yang bersifat formal maupun informal. Buruh mempunyai jam kerja yang jelas, jenis pekerjaannya jelas, ada hak-haknya yang dilindungi pemerintah dan yang pasti ada status yang jelas dalam pemerintah. Sedangkan pembantu, mereka merupakan pekerja yang mempunyai keunikan tersendiri, yang tidak dimiliki oleh pekerja lainnya karena ia bekerja tanpa ada pembagian jam yang jelas, jenis pekerjaannnya tidak pasti, gaji yang rendah dan belum ada undang-undang yang dapat melindungi hak mereka. Pembantu bekerja mulai dari subuh sampai malam pun dia belum berhenti sampai kondisi rumah sudah tenang, jenis pekerjaannya bisa beragam tidak terpaku pada satu jenis saja misalnya mengasuh anak tetapi dia bekerja serabutan mulai dari memasak, membersihkan rumah sampai mengasuh anak, dengan gaji yang rendah. Kondisi yang semacam ini dapat menyebabkan rendahnya harga diri pembantu.-
Contoh kasus yang terjadi, penulis mewawancarai seorang pembantu bernama Sumi berumur 19 tahun, asal dari Wonogiri, dengan pendidikan terakhir lulusan SD. Sumi bekerja pada sebuah keluarga kecil yang tinggal di daerah jalan Patuk Yogyakarta. Sebelum bekerja di Yogya, Sumi pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga didaerah dekat rumahnya tetapi kemudian mendapat tawaran untuk bekerja di Yogya dengan imbalan yang cukup besar untuk ukuran orang desa akhirnya Sumi pun menyangupinya. Ketika peneliti bertanya mengenai pekerjaannya, Sumi menjawab bahwa “Ya, gajinya lebih banyak disini mbak daripada di desa, trus pekerjaannya tidak terlalu banyak, tapi saya slalu nanya yang harus saya kerjakan sama ibu (majikan perempuan) takut salah”. Dalam bekerja Sumi selalu menunggu perintah dan petunjuk dari majikan, Sumi tidak berani mengeluarkan ide-ide walaupun dalam hal paling kecil seperti membersihkan dapur karena Sumi takut apa yang dikerjakannya akan membuat si majikan marah dan tidak berkenan. Sumi selalu merasa apa yang dia kerjakan adalah tidak benar dan Sumi selalu tergantung perintah dari majikan walaupun dalam hal yang sangat sepele.
Contoh kasus kedua melalui wawancara yang dilakukan peneliti dengan majikan sebut saja Ny. Maryati yang bertempat tinggal di kampung Notoyudan. Ny Maryati mempunyai seorang pembantu bernama Sinah, berumur 40 tahunan dan belum menikah. Sinah ini sudah lama bekerja di keluarga Ny. Maryati. Keluarga Ny Maryati senang dengan Sinah karena pekerjaan urusan rumah tangga selalu terselesaikan dengan baik, loyalitas bekerja tinggi dan Sinah sangat jujur. Tapi dibalik kelebihannya itu, Sinah mempunyai kekurangan yaitu buta huruf dan kemampuan berbahasa Indonesia yang sangat buruk. Karena kekurangannya itu Sinah sangat tidak percaya diri dengan keadaanya kalau harus bertemu dengan orang lain (hal ini ditunjukkan dengan ketidakmauan dia untuk keluar rumah ketika dimintai tolong oleh majikan untuk membeli sesuatu diwarung atau dipasar, walaupun ada catatan barang yang harus dibeli) dan tidak mudah menerima kehadiran orang lain di rumah majikan (disini maksudnya seorang pembantu juga dan perilaku Sinah ditunjukkan dengan uring-uringan dan berkata ketus kepada pembantu baru) karena Sinah merasa orang lain itu akan merebut perhatian majikan padahal maksud majikan mencarikan teman, agar pekerjaan Sinah cepat selesai.
Kasus ketiga mengenai ketidak mampuan seorang pembantu untuk bersosialisasi dengan lingkungan karena faktor profesi. Wawancara penulis dengan seorang pembantu rumah tangga bernama Sari, asal dari desa Giripanggung kecamatan Tepus kabupaten Gunungkidul, berumur 25 tahun. Sebenarnya Sari ingin bersosialisasi dengan lingkungan tempat bekerjanya, tetapi Sari tidak mampu melakukannya karena takut diejek oleh orang-orang sekelilingnya. Karena tidak ada rasa percaya diri dan selalu berfikir dirinya tidak berguna, membuat Sari semakin enggan untuk keluar rumah.
Dari kasus-kasus di atas tampak bahwa ada pembantu rumah tangga mempunyai harga diri yang rendah. Hal ini disesuaikan dengan pendapat Frey dan Carlock (dalam Koentjoro 1989) yang mengatakan bahwa orang yang mempunyai harga diri rendah mempunyai indikator: tidak yakin terhadap dirinya sendiri, kurang mampu mengekspresikan dirinya sendiri dan juga ide-idenya, merasa tidak diperhatikan, menganggap apa yang dilakukan akan selalu menghasilkan sesuatu yang buruk, cenderung menolak dirinya dan merasa dirinya tidak puas. Harga diri yang rendah menurut Divista dan Thomson (dalam Lector, 1999) adalah sebuah perilaku yang menunjukkan sifat tergantung, kurang percaya diri, pesimistis, dan tidak jarang mereka terbentur kesulitan dalam proses sosialisasi berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa orang yang memiliki harga diri rendah akan mempunyai ciri-ciri memandang dirinya sebagai orang yang gagal dan tidak baik, kurang realistis dalam melihat kemampuan, tidak percaya dengan kemampuan dan usaha, tidak mudah menerima kehadiran orang lain, tidak mampu mengekspresikan dirinya sendiri, pesimistis, tergantung dan kurang percaya diri.
Menurut Koentjoro (Roosmayanti, 1998), faktor yang dapat mempengaruhi harga diri seorang pembantu rumah tangga ketika bekerja pada majikannya yaitu faktor fisik, faktor pakaian, faktor nama dan panggilan, faktor intelegensi, tingkat aspirasi, faktor emosi, faktor status sosial dan faktor keluarga. Faktor fisik misalnya perlakuan secara fisik majikan kepada pembantu seperti memukul, menampar, dan mendorong, ketika si pembantu melakukan kesalahan. Faktor pakaian misalnya diberikan seragam untuk bekerja sehingga dengan seragam yang layak ia merasa dihargai. Faktor nama dan panggilan bisa berpengaruh terhadap harga diri pembantu. Biasanya pembantu senang dipanggil dengan nama yang lebih modern, misalnya namanya Saniyem, jika majikan memanggilnya dengan nama Iyem maka harga dirinya tidak akan setinggi jika ia dipanggil dengan nama Sani atau Ani.
Faktor intelegensi disini maksudnya jika seorang pembantu pernah sekolah dan mempunyai tingkat intelegensi yang baik, maka ketika di beri kepercayaan untuk menyelesaikan sesuatu, misalnya disuruh mengurusi keuangan belanja atau diminta mengajari anak majikan yang masih TK atau SD maka harga dirinya akan bertambah. Tingkat aspirasi maksudnya majikan mau mendengarkan aspirasi dari pembantunya dan jika aspirasi itu baik, majikan mengijinkan si pembantu untuk menerapkannya, misalnya “ Bu, itu kulkasnya saya bersihkan ya soalnya sudah mulai tercium bau tidak enak”.
Faktor emosi maksudnya majikan mau mendengarkan keluh kesah atau permasalahan si pembantu sehingga si pembantu merasa dihargai. Faktor status sosial misalnya si pembantu diijinkan ikut arisan atau kegiatan kampung dan diijinkan untuk bergaul dengan siapa saja di luar rumah. Faktor keluarga disini maksudnya keluarga si pembantu mendukung sepenuhnya kerja si pembantu dan dari pihak keluarga majikan menghargainya, karena ada dukungan dan penerimaan dari kedua pihak tersebut maka akan meningkatkan harga diri.
Manusia sebagai mahluk sosial tentunya membutuhkan bantuan atau pertolongan dari orang lain dalam segala hal. Kebutuhan akan pertolongan orang lain ini, tidak hanya dalam bentuk materi saja akan tetapi dapat juga berbentuk immateri, misalnya dukungan ( support) dalam melakukan sesuatu.
Contoh kasus yang diambil oleh penulis berdasarkan wawancara dengan seorang pembantu rumah tangga. Kamiah (35 tahun) yang bekerja di kampung Notoyudan Yogyakarta pernah menderita penyakit epilepsy (ayan). Menurut majikannya ketika diwawancarai, pada saat penyakitnya kambuh, Kamiah akan mengalami kejang-kejang, menggelepar, kepalanya dibentur-benturkan pada apa saja yang didekatnya, dari mulut keluar semacam buih putih dan kejadian ini berlangsung antara 5–10 menit. Karena majikannya peduli terhadap pembantunya, Kamiah tidak dipulangkan tetapi justru dibawa ke dokter untuk diperiksa, diobati dan diberi makan makanan yang bergizi. Sampai akhirnya Kamiah sembuh dan penyakit ayannya tidak pernah kambuh lagi. Kamiah merasa diperhatikan, dihargai, diberikan bantuan, dibesarkan hatinya, diperlakukan layaknya sebagai anggota keluarga, sehingga sampai saat ini ia mengabdi di keluarga tersebut sampai mencapai 24 tahun. Sifat dari Kamiyah sesuai dengan teori dari Koentjoro (dalam Lector, 1999) yang menyimpulkan bahwa harga diri yang tinggi muncul karena adanya penerimaan, dan perlakuan orang lain yang ditunjukkan pada dirinya serta di dalamnya terkandung adanya perasaan menyukai diri sendiri. Hal ini sesuai juga dengan pendapat Noerjiman (dalam Ester Lies, 1992) yang menyatakan bahwa harga diri muncul karena adanya perasaan diterima dan dihargai oleh orang lain, penilaian yang positif terhadap dirinya sendiri, dan merasa dirinya berharga, mempunyai arti dan nilai.
Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor: HP. 0819 0405 1059/ 0812 2701 6999 atau Telp.0274-9553376. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :) |
Manusia sebagai mahluk sosial tentunya membutuhkan bantuan atau pertolongan dari orang lain dalam segala hal. Kebutuhan akan pertolongan orang lain ini, tidak hanya dalam bentuk materi saja akan tetapi dapat juga berbentuk inmateri, misalnya dukungan (support) dalam melakukan sesuatu sesuai dengan pendapat Johnson dan Johnson (1991). Dengan adanya dukungan sosial ini diharapkan dapat memperkuat atau menaikkan perasaan harga diri seseorang, membantu menghadapi dan menyelesaikan masalah, Jadi fungsi dukungan sosial adalah : memberikan bantuan dalam bentuk penyelesaian masalah sehingga akan memperkuat perasaan harga diri seseorang yang kemudian dapat dengan yakin mengambil kesimpulan terhadap suatu permasalahan.
Berdasarkan wawancara dengan salah satu tokoh dari rumpun Tjoet Nya Dien bernama Dewi, yang berperan sebagai mediator, permasalahan yang terjadi bisa disebabkan oleh majikan, orang tua si pembantu atau teman-temannya. Tetapi bisa juga kebalikannya, malah mereka yang memberikan dukungan. Misalnya adalah tidak semua para majikan memberikan kebebasan kepada pembantunya untuk bersosialisasi, misalnya tidak diperbolehkan menerima telepon atau menerima tamu untuk si pembantu, tidak memberi ijin untuk pergi dengan teman-temannya untuk rekreasi walaupun pekerjaannya telah selesai, sehingga ia merasa diperbudak oleh majikannya dan lama kelamaan muncul perasaan bahwa martabatnya lebih rendah dibanding orang lain.
Dari segi orang tua si pembantu yang dapat menurunkan harga dirinya adalah kata-kata yang sifatnya merendahkan misalnya menyangkut masalah intelektual seperti “Kamu baca tulis saja tidak bisa kok neko-neko mau bekerja di pabrik, mending jadi pembantu saja, makan tidur sudah ditanggung, dapat gaji, tidak usah mikir tempat tinggal”. Dari segi teman sekampung yang tingkat pendidikannya lebih tinggi, misalnya berupa ejekan “Kamu di kerja di kota cuma jadi pembantu tho?”. Kata-kata tersebut bisa membuat minder orang yang bersangkutan.
Kondisi yang demikian tentunya akan membuat para pembantu rumah tangga mengalami perasaan yang tertekan baik secara fisik maupun psikis. Perasaan tertekan baik secara fisik maupun psikis ini akan mempengaruhi harga diri pembantu rumah tangga. Melihat kondisi yang dialami pembantu rumah tangga tersebut, maka ia membutuhkan dukungan dari lingkungannya, baik dukungan secara material maupun secara moral. Dukungan yang diberikan harus dapat menambah semangat hidup dan kepercayaan diri sehingga dia mampu meningkatkan harga dirinya.
Dukungan dari lingkungan dapat diperoleh dari berbagai sumber yaitu majikan, orang tua dan teman-teman. Dukungan dari majikan berupa pemberian kesempatan kepada pembantunya untuk bersosialisasi misalnya dengan ikut arisan atau kegiatan sosial di kampung, diberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan seperti sekolah sore atau kursus ketrampilan. Selain dukungan dari majikan, dukungan dari orang tua dan keluarga juga dapat meningkatkan harga diri, seperti ungkapan “ pekerjaan pembantu itu halal dan mulia daripada menjadi pengangguran atau menjadi wanita nakal”.
Demikian pula peran seorang teman tidak dapat disepelekan, karena teman dapat memberikan dukungan secara moral berupa kehangatan dalam berkawan dan saling membantu dan menjadi teman curhat. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ganster dkk (dalam Gibson, 1996) yang mengatakan bahwa sumber-sumber dukungan sosial diperoleh dari keluarga, teman dan atasan (disini yang dimaksud dengan majikan).
Teori yang menunjukkan kaitan antara dukungan sosial dan harga diri yaitu: Sarason dkk (1983) mengartikan dukungan sosial adalah ada atau tidaknya seseorang yang dapat dipercaya dapat membantu sehingga individu mengetahui bahwa dirinya dihargai dan Rogers (1987) mengemukakan jika individu diterima dan dihargai secara positif oleh orang lain, individu itu akan cenderung untuk mengembangkan sikap positif terhadap diri sendiri dan lebih menerima dan menghargai diri sendiri. Arndt (dalam Roosmayanti, 1998 ) mengemukakan bahwa harga diri adalah penilaian atau evaluasi seseorang terhadap dirinya sendiri, bahwa yang bersangkutan dapat mengerjakan sesuatu, bahwa ia adalah orang yang berharga.
Salah satu aspek yang mendukung harga diri adalah kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain, dianggap dan diperhatikan oleh orang lain (dukungan sosial). Adanya hubungan antara perhatian keluarga, majikan dan teman (dukungan sosial) akan mempengaruhi terhadap keberhargaan diri seseorang Harga diri adalah apa yang dirasakan mengenai diri yang akan mempengaruhi tindakan selanjutnya.
Peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara dukungan sosial (social support) dan harga diri (self esteem) terhadap pembantu rumah tangga karena fenomena tersebut cukup menarik dan kurang mendapat perhatian oleh masyarakat pada umumnya. Kemudian peneliti merumuskan pertanyaan “Apakah ada hubungan antara dukungan sosial dan harga diri pada pembantu rumah tangga”.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial (social support) terhadap harga diri (self esteem) pada pembantu rumah tangga di daerah Yogyakarta
C. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu psikologi pada khususnya yaitu psikologi sosial dan psikologi kepribadian.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada semua pihak seperti mahasiswa, dosen, rumpun Tjoet Nya Dien untuk memberikan dukungan kepada para pembantu rumah tangga dengan sistem pendampingan serta mengkampanyekan kepada para majikan supaya memberikan dukungan sosial kepada pembantu rumah tangganya.
D. Orisinalitas Penelitian
Penelitian tentang dukungan sosial sudah banyak dilakukan oeh para peneliti di Yogyakarta. Salah satunya dilakukan oleh Rachmadiana (2000) dengan judul Hubungan antara citra raga, dukungan sosial dengan profesionalisme kerja pada peragawati remaja. Subyeknya remaja putri dengan profesi sebagai peragawati berusia 18-22 tahun dengan hasil tidak ada korelasi antara citra raga dengan profesionalisme kerja. Wulandari (2000) meneliti Hubungan antara efikasi diri dan dukungan sosial dengan kepuasan kerja. Subyeknya karyawan non managerial PT. Telkom Distec Yogyakarta, STO Kotabaru dan STO Pugeran dengan hasil ada korelasi yang siginifikan ditunjukkan oleh dukungan sosial dari atasan.
Penelitian tentang dukungan sosial juga pernah diteliti oleh Restianingsih (2001) dengan judul Dukungan sosial dan stress pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi dengan hasil ada korelasi negatif antara dukungan sosial dengan stress pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi.
Sedangkan penelitian tentang harga diri pernah diteliti oleh Puspitasari (2001) dengan judul Hubungan harga diri dengan sikap terhadap pelanggaran norma kedisiplinan sekolah pada remaja dengan subyek pelajar kelas ll SMUN 6 Yogyakarta. Hasil yang diperoleh ada korelasi negatif antara harga diri dengan sikap terhadap pelanggaran norma kedisiplinan sekolah. Peneliti yang lainnya adalah Roosmayanti (1998) dengan judul Harga diri remaja yang mengunakan psikoaktif dan yang tidak menggunakan psikoaktif. Subyeknya adalah remaja usia 13 – 21 tahun di Yogyakarta yang mengunakan zat psikoaktif atau tidak, dan hasil yang diperoleh ada perbedaan yang signifikan antara pemakai dengan yang tidak.
Lector (1999) dengan judul Hubungan antara harga diri dengan stress kerja guru sekolah dasar di Kabupaten Kupang Propinsi NTT. Subyeknya guru laki-laki dan perempuan yang mengajar di kelas 1 – 6 di SD Negeri. Hasil yang diperoleh ada hubungan negatif yang signifikan antara harga diri dengan stress kerja guru SD.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan judul Hubungan antara dukungan sosial (social support) dan harga diri (self esteem) pada pembantu rumah tangga di daerah Yogyakarta, berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh para peneliti di atas. Perbedaan itu meliputi variabel, lokasi dan subyek penelitian. Oleh karena itulah penulis yakin penelitian ini masih bersifat orisinil (asli).
- Baca selengkapnya »
===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================