EVALUASI PENERAPAN KEAMANAN KERJA PADA PEMERIKSAAN SPUTUM TB DI LABORATORIUM PUSKESMAS KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2010
Sep 22nd, 2011 by admin
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (Depkes RI, 2002). Kuman ini dapat menyerang semua bagian tubuh manusia dan yang paling sering terkena adalah organ paru (90%). Penderita menyebarkan kuman TB di udara dalam bentuk droplet pada saat penderita batuk atau bersin. Penyakit tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan bagi bangsa Indonesia dan dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa sekitar 1,9 milyar manusia, sepertiga penduduk dunia ini telah terinfeksi kuman tuberkulosis (Deadly, 2004). Dalam pandangan dunia internasional, Indonesia merupakan penyumbang kasus TB Paru terbesar di dunia setelah India dan Cina.
Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1995, menunjukkan bahwa Tuberkulosis merupakan penyakit ketiga penyebab kematian, sedangkan pada tahun 1992 merupakan penyebab kematian kedua. Pada tahun 2004, WHO Global Surveillance memperkirakan di Indonesia terdapat 539.000 penderita Tuberkulosis / TBC baru pertahun dengan insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. Kematian akibat Tuberkulosis /TBC diperkirakan menimpa 101.000 penduduk tiap tahun. Secara Regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1) wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 2) wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk; 3) wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2007). Khusus untuk kabupaten Purworejo diperkirakan potensi penyakit TBC penduduk adalah 107 pasien banding 100.000 penduduk, dengan kata lain, jika warga Purworejo sekitar 700 ribu, maka penderita TBC diperkirakan ada 700 orang (www.dinkespurworejo.co.id).
Dalam pemberantasan penyakit TB Paru, pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan menggunakan Puskesmas sebagai ujung tombak untuk memutuskan rantai penularan penyakit TB Paru di masyarakat yaitu dengan cara menemukan dan mengobati penderita sampai sembuh (Ahmad, 1999). Dalam pelaksanaan di Puskesmas, dibentuk kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), dengan dikelilingi oleh kurang lebih 5 (lima) Puskesmas Satelit (PS). Pada keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan sputum Bakteri Tahan Asam (Depkes, 2007). Khusus untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo dengan 27 puskesmas yang terdiri dari 9 puskesmas rawat inap dan 18 puskesmas rawat jalan, dalam melaksanakan program P2TB-Paru puskesmas bertugas sebagai puskesmas pelaksana mandiri (PPM).
Setiap Puskesmas setidaknya memiliki satu dokter, satu staf poliklinik/perawat yang bertugas menangani TB, dan satu petugas laboratorium yang terlatih. Pemeriksaan laboratorium merupakan salah satu bentuk pelayanan yang diberikan oleh puskesmas kepada penderita TB Paru. Dalam program penanggulangan TB Paru, pemeriksaan sediaan mikroskopis BTA dari spesimen sputum merupakan komponen kunci untuk menegakkan diagnosis serta evaluasi dan tindak lanjut pengobatan (Gerdunas TB, 2001).
Sumber penularan penyakit TB paru adalah penderita TB BTA positif. Penderita menyebarkan kuman di udara dalam bentuk droplect (percikan dahak/sputum). Dilihat dari penyebaran penyakit, petugas laboratorium merupakan orang pertama yang akan terpajan doplect pada saat penanganan dahak/sputum, untuk itu dalam pelaksanaan penegakkan diagnosis TB seorang petugas laboratorium harus memperhatikan keselamatan dalam bekerja.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan suatu upaya untuk menciptakan suasana bekerja yang aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah mencapai produktivitas setinggi-tingginya. Maka dari itu K3 mutlak untuk dilaksanakan pada setiap jenis bidang pekerjaan tanpa kecuali. Upaya K3 diharapkan dapat mencegah dan mengurangi risiko terjadinya kecelakaan maupun penyakit akibat melakukan pekerjaan. Dalam pelaksanaan K3 sangat dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu manusia, bahan, dan metode yang digunakan, yang artinya ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dalam mencapai penerapan K3 yang efektif dan efisien (Setyawati, 1996).
Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor: HP. 0819 0405 1059/ 0812 2701 6999/ 0888 9119 100 atau Telp.0274-9553376. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :) |
Sebagai bagian dari iImu Kesehatan Kerja, penerapan K3 dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu adanya organisasi kerja, administrasi K3, pendidikan dan pelatihan, penerapan prosedur dan peraturan di tempat kerja, dan pengendalian lingkungan kerja. Dalam Ilmu Kesehatan Kerja, faktor lingkungan kerja merupakan salah satu faktor terbesar dalam mempengaruhi kesehatan pekerja, namun demikian tidak bisa meninggalkan faktor lainnya yaitu perilaku. Perilaku seseorang dalam melaksanakan dan menerapkan K3 sangat berpengaruh terhadap efisiensi dan efektivitas keberhasilan K3. Demikian juga yang terjadi pada pekerja laboratorium dimana tingkat kepatuhan terhadap peraturan dan pengarahan K3 akan mempengaruhi perilaku terhadap penerapan prinsip K3 dalam melakukan pekerjaannya (Setyawati, 1996).
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.
Penerapan prosedur kerja yang ditetapkan diharapkan dapat menurunkan risiko penularan patogen melalui darah dan cairan tubuh lain dari sumber yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Penerapan ini merupakan pencegahan dan pengendalian penyebaran penyakit yang harus rutin dilaksanakan di semua fasilitas pelayanan kesehatan (FPK).
Petugas laboratorium dalam melakukan penanganan dahak/sputum perlu mengikuti prosedur kerja yang ditetapkan. Hal ini penting untuk menjamin keselamatan dirinya, salah satu persyaratan tersebut adalah pada pemakaian alat pelindung diri berupa jas laboratorium dan masker.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Agustinus Naru (2004) terdapat hubungan bermakna antara sikap petugas tentang pemakaian APD dengan kejadian TB paru pada petugas laboratorium puskesmas. Selain itu, dalam penelitian Taufik Hidayat (2008) juga menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan praktik pemakaian APD demikian juga antara sikap dengan praktik pemakaian APD. Maka dari itu, aspek perilaku petugas sendiri terhadap disiplin pemakaian alat perlindungan diri (APD) dan hygiene petugas sehabis penanganan sampel berupa pencucian tangan tidak boleh diabaikan. Penggunaan APD dan hygiene petugas merupakan salah satu upaya dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Dengan memperhatikan hal tersebut diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang evaluasi penerapan keamanan kerja pada pemeriksaan sputum TB di laboratorium Puskesmas Kabupaten Purworejo.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: Bagaimana penerapan keamanan kerja petugas laboratorium puskesmas pada pemeriksaan sputum TB di Kabupaten Purworejo?
Baca selengkapnya »
===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================