FUNGSIONALISASI SANKSI PIDANA TERHADAP PEDAGANG KAKI LIMA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 1989 TENTANG PENGATURAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BANDAR LAMPUNG
May 7th, 2014 by admin
PELAKSANAN PERADILAN ACARA CEPAT DALAM KASUS PELANGGARAN PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 1989 TENTANG PENGATURAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BANDAR LAMPUNG
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis multidimensi yang terjadi akibat proses reformasi pemerintahan di Indonesia menimbulkan berbagai masalah dalam berbagai sektor kehidupan bernegara dan sosial masyarakat. Di sektor ekonomi, ketidakseimbangan antara besarnya tenaga kerja yang tersedia dan kesempatan kerja, ditambah banyaknya karyawan yang di-PHK menimbulkan masalah pengangguran yang cukup parah. Di lain pihak kebutuhan hidup tidak bisa menunggu untuk dipenuhi.
Pemecahan masalah yang paling sederhana yang muncul dari pemikiran sekelompok masyarakat kecil untuk bertahan hidup antara lain adalah berjualan, mencari sedikit keuntungan dengan menjajakan berbagai jenis barang, makanan atau minuman. Sekelompok masyarakat inilah yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan pedagang kaki lima (PKL).
Pedagang kaki lima (PKL) kebanyakan bermodal kecil yang menjalankan profesi ini hanya untuk memenuhi tuntutan biaya hidup yang makin tinggi. Kebanyakan dari mereka tidak mempunyai keahlian. Mereka hanya punya semangat untuk bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia[1], istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap sebagai penghubung rumah dengan rumah, arti yang kedua adalah lantai (tangga) di muka pintu atau di tepi jalan. Arti yang kedua ini lebih cenderung diperuntukkan bagi bagian depan bangunan rumah toko, di mana di zaman silam telah terjadi kesepakatan antar perencana kota bahwa bagian depan (serambi) dari toko lebarnya harus sekitar lima kaki dan diwajibkan dijadikan suatu jalur di mana pejalan kaki dapat melintas. Namun ruang selebar kira-kira lima kaki itu tidak lagi berfungsi sebagai jalur lintas bagi pejalan kaki, tetapi telah berubah fungsi menjadi area tempat jualan barang-barang pedagang kecil, maka dari situlah istilah pedagang kaki lima dimasyarakatkan. Terlepas yang mana arti yang paling benar, kedua-duanya adalah masalah yang sedang dihadapi kota-kota di Indonesia saat ini.
Pertumbuhan PKL yang tidak diikuti dengan penataan dan penegakan hukum melahirkan masalah baru yaitu ketidaknyamanan dan kesemrawutan, sebab fungsi-fungsi sosial fasilitas umum yang ada telah berganti menjadi tempat usaha. Bila dilihat dari segi keindahan, ketertiban maupun keteraturan dalam sebuah tata kota, keberadaan PKL memang tidak enak dipandang mata dan dapat mengganggu arus lalu lintas atau menjadi sebab kemacetan lalu lintas yang pada akhirnya dapat merugikan kepentingan umum. Permasalahan inilah yang sering melatarbelakangi adanya berbagai keluhan terhadap keberadaan para pedagang kaki lima.
Menyikapi persoalan yang ditimbulkan PKL, Pemerintah Kota Bandar Lampung telah sering melakukan penertiban. Namun setelah beberapa saat biasanya para PKL kembali menggelar dagangannya di tempat-tempat yang dilarang untuk berdagang. Hal ini menyebabkan tindakan yang dilakukan pemerintah seakan-akan tidak ada artinya. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan penertiban PKL demi ketertiban umum, kemudian pemerintah Kota Bandar Lampung membuat Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Perda tersebut memuat ketentuan tentang tempat usaha yang diperbolehkan untuk PKL, retribusi PKL, pembinaan PKL, perizinan PKL, pengawasan PKL dan yang tak kalah penting adalah pencantuman ketentuan pidana dan penyidikan tindak pidana yang terkait dengan PKL.
Adanya ketentuan pidana di dalam Perda PKL merupakan bentuk penanggulangan kejahatan dengan menggunakan (hukum) pidana. Cara ini sendiri merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada pula yang menyebutnya sebagai “older philosophy of crime control“.[2] Dalam hal ini, penggunaan hukum pidana dalam pengaturan masalah sosial ditujukan untuk mencegah, menanggulangi, dan mengendalikan masyarakat agar tetap tertib. Hal ini sesuai dengan pendapat Waluyo[3] bahwa antisipasi atas kejahatan di antaranya dilakukan dengan memfungsikan instrumen hukum (pidana) secara efektif melalui penegakan hukum (law enforcement). Melalui instrumen hukum diupayakan perilaku yang melanggar hukum ditanggulangi secara preventif maupun represif. Mengajukan ke depan sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana bagi anggota masyarakat yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan tindakan yang represif. Namun demikian penjatuhan pidana dalam hal ini bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam.
Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor: HP. 0819 0405 1059/ 0812 2701 6999 atau Telp.0274-9553376. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :) |
Berkaitan dengan ketentuan pidana di dalam Pasal 10 ayat (1) Perda Nomor 10 Tahun 1989 ditentukan bahwa pelanggaran yang dilakukan terhadap Pasal 2 ayat (5), Pasal 3 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 dan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Daerah ini diancam hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.50.000,- (lima puluh ribu). Selain itu dalam ayat (2) ditentukan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Daerah ini, disamping dikenakan hukuman tersebut pada ayat (1) pasal ini, dapat pula diikuti dengan pembongkaran bangunan oleh Walikota serta pencabutan pedagang kaki lima yang melanggar ketentuan.
Praktek pasal yang memuat aturan pidana ini telah digunakan oleh pihak Pemda Kota Bandar Lampung untuk menindak para PKL yang beroperasi di daerah Pasar Bambukuning. PKL yang ditindak sebanyak 11 orang, yang diadili secara langsung di lokasi kejadian perkara dengan menggunakan acara cepat. Kemudian kepada mereka dijatuhi pidana denda Rp.50.000,- (lima puluh ribu) dan kurungan 3 (tiga) hari, karena terbukti melakukan tindak pidana ringan yaitu pelanggaran terhadap Perda Nomor 10 Tahun 1989. Jika dilihat dari ketentuan sanksi yang dihjatuhkan, dapat diketahui bahwa sanksi yang diberikan termasuk sangat ringan. Hal ini terbukti di tempat yang berbeda para PKL tetap bebas berdagang dan mengganggu jalan umum. Fenomena ini menunjukkan bahwa sanksi pidana yang dimuat dalam Perda Nomor 10 Tahun 1989 belum bersifat fungsional.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan menuliskan hasilnya dalam tesis dengan judul “Fungsionalisasi Sanksi Pidana Terhadap Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1989 Tentang Pengaturan Dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima Di Kota Bandar Lampung”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dirumuskan masalah sebagai berikut:
- Bagaimana pelaksanaan pidana terhadap PKL di Pasar Bambukuning berdasarkan Perda Nomor 10 Tahun 1989?
- Mengapa pelaksanaan sidang terhadap PKL di Pasar Bambukuning dilaksanakan menggunakan acara cepat?
- Bagaimana efektivitas sanksi pidana dalam Perda Nomor 10 Tahun 1989 dikaitkan dengan efek jera pada pelaku pelanggaran Perda?
- Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat pelaksanaan pidana terhadap PKL di Pasar Bambukuning menurut Perda Nomor 10 Tahun 1989?
- Baca selengkapnya »
===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================