HAK OPSI DALAM PENYELESAIAN HUKUM WARIS DI PENGADILAN NEGERI (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SLEMAN)
Jul 2nd, 2008 by admin2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah warisan seringkali menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini sering kali muncul karena adanya salah satu ahli waris yang merasa tidak puas dengan pembagian warisan yang diterimanya. Hal ini timbul dari sifat serakah manusia yang berkeinginan untuk selalu mendapatkan yang lebih dari apa yang telah diperolehnya.
Untuk mendapatkan harta warisan sesuai dengan jumlah yang diinginkannya, para ahli waris menempuh segala cara yang dapat dilakukan guna mencapai tujuannya, baik melalui jalan hukum maupun dengan jalan melawan hukum. Jika perolehan harta warisan dilakukan dengan jalan melawan hukum, sudah tentu ada sanksi hukum yang menanti para pihak yang melakukan perbuatan itu. Akan tetapi jika perolehan harta warisan dilakukan dengan jalan sesuai dengan hukum, maka tidak akan ada sanksi hukum yang diberikan. Masalah yang timbul adalah apakah jalan hukum yang ditempuh tersebut memenuhi prinsip keadilan bagi semua pihak yang berperkara. Terutama di dalam masalah warisan, sering kali putusan yang adil bagi salah satu pihak belum tentu dianggap adil oleh pihak yang lain.
Hak opsi diperbolehkan dalam masalah pembagian warisan, sebab ada dua sistem hukum yang dapat dipilih oleh para pihak dalam menentukan pembagian warisan, yaitu hukum Islam dan hukum adat. Dua sistem hukum itu mempunyai perbedaan yang prinsip, oleh karena itu ada dua lembaga yang berwenang untuk memutus apabila terjadi sengketa waris. Untuk hukum Islam yang berwenang adalah Pengadilan Agama, sedang untuk hukum adat yang berwenang adalah Pengadilan Negeri.
Ketentuan pembagian warisan dari dua sistem hukum tersebut seringkali mempunyai perbedaan, maka terjadi pilihan hukum yang bisa digunakan sebagai dasar penyelesaian masalah pembagian warisan. Masalah hak opsi ini bisa menjadi masalah baru dalam pembagian harta warisan, sebab para pihak cenderung memilih hukum sesuai dengan kepentingannya sendiri, yaitu hukum yang bisa memberikan peluang untuk mendapatkan pembagian warisan yang lebih menguntungkan dirinya. Jika para pihak berpendapat dengan sadar, nilai-nilai hukum Eropa lebih adil, itulah yang akan diterapkan dalam menyelesaikan pembagian warisan. Jika hukum waris Islam yang dipandang lebih adil, undang-undang tidak melarang. Sepenuhnya terserah kepada mereka untuk menentukan pilihan. Hakim tidak berwenang untuk memaksakan pilihan hukum tertentu. Pemaksaan dari pihak hakim adalah tindakan yang melampui batas kewenangan dan dianggap bertentangan dengan “ketertiban umum” dan undang-undang. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan serta meminta agar pembagian dinyatakan batal dan tidak mengikat.[1]
Persoalan pilihan hukum (hak opsi) itu timbul dalam kaitan dengan adanya peluang bagi masyarakat pencari keadilan yang ingin menyelesaikan perkara warisan. Peluang ini sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum dan Pasal 49 UU No. 7 Th. 1989, bisa menimbulkan dua akibat, yaitu berupa pada waktu yang sama para pihak dapat mengajukan gugatan atau bisa juga para pihak sepakat untuk memilih satu sistem hukum untuk menyelesaikan masalah warisannya.
Dalam pilihan hukum ini, tidak akan menjadi masalah jika semua pihak sepakat untuk memilih salah satu hukum yang akan dijadikan dasar dalam memecahkan masalah kewarisan, dan mereka juga mau menerima dengan sadar konsekuensi yang timbul dari pilihan hukum yang mereka lakukan. Akan tetapi akan menjadi masalah, bila masing-masing pihak memilih hukum yang berbeda-beda.
Berkaitan dengan masalah hak opsi di dalam pembagian warisan, di Pengadilan Agama Sleman ada sebuah kasus yang menarik tentang hak opsi, yaitu ada dua pihak yang bersengketa. Pihak yang pertama beragama Islam, sedangkan pihak yang kedua beragama Khatolik. Kedua orang ini adalah saudara kandung, pihak yang beragama Islam berjenis kelamin laki-laki, sedangkan pihak yang beragama Khatolik berjenis kelamin wanita.
Menurut agama yang dianut oleh masing-masing pihak, maka Pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan masalah warisan ada dua, yaitu bagi pihak yang beragama Islam adalah Pengadilan Agama, sedangkan bagi pihak yang beragama Khatolik adalah Pengadilan Negeri. Pihak yang beragama Islam ingin masalah warisannya diselesaikan oleh Pengadilan Agama, yang berarti menggunakan dasar Hukum Islam, sedangkan pihak yang beragama Khatolik ingin masalah warisannya diselesaikan oleh Pengadilan Negeri, yang berarti menggunakan dasar Hukum Perdata.
Pihak yang beragama Khatolik sudah mengajukan gugatannya ke Pengadilan Ngeri Sleman, akan tetapi oleh Pengadilan Negeri Sleman tidak diterima dengan alasan bahwa pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan Agama Sleman.
Untuk menentukan siapa yang berwenang mengadili kasus ini adalah wewenang Pengadilan Negeri. Oleh karena itu pertama kali para pihak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri. Setelah Pengadilan Negeri memutuskan Pengadilan mana yang berwenang menyelesaikan perkara itu, barulah masalah waris itu diselesaikan.
Berdasarkan data pra penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa Pengadilan Negeri memutuskan bahwa masalah sengketa warisan tersebut merupakan wewenang Pengadilan Agama, karena adanya surat wasiat yang telah dibuat berdasarkan syariat Islam. Putusan diberikan sesuai dengan ketentuan Pasal 176 KHI, yang menentukan bahwa “…..bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu anak perempuan.”
B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini masalah yang akan diteliti adalah, yaitu :
- Bagaimana pelaksanaan hak opsi dalam penyelesaian waris di Pengadilan Negeri?
- Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan hak opsi perkara waris di Pengadilan Negeri?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
- Untuk mengetahui pelaksanaan hak opsi dalam penyelesaian waris di Pengadilan Negeri.
- Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan hak opsi perkara waris di Pengadilan Negeri.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam ketentuan umum Pasal 171 huruf d di jelaskan, bahwa harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.[2] Dalam terminologi fiqh, harta peninggalan disebut dengan tirkah. Agar harta peninggalan tersebut, dapat dibagai sebagai harta warisan, maka perlu diselesaikan kewajiban-kewajiban tertentu.
Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor: Hp/Wa. 0812 2701 6999 atau 0817 273 509. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :) |
Pasal 171 huruf e menjelaskan, harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.
Terkait dengan pembagian warisan, ada istilah yang disebut dengan istilah hak opsi. Adapun yang dimaksud dengan hak “opsi” dalam perkara warisan ialah hak memilih hukum warisan apa yang dipergunakan dalam menyelesaikan pembagian warisan[3]. Hak opsi dalam UU No. 7 Tahun 1989 dijumpai dalam bagian Penjelasan Umum angka 2 alinea keenam yang berbunyi “sehubungan dengan hal tersebut, para pihak yang berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan.”
Ketentuan hak opsi ini didahului oleh kalimat alinea yang menegaskan bahwa yang dimaksud dengan bidang hukum kewarisan yang menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Agama mengadili perkaranya bagi mereka yang beragama Islam meliputi aspek hukum penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelakasanaan pembagian harta peninggalan bilamana pewarisan tersebut dilakukan berdasarkan hukum Islam. Penjelasan inilah yang ditimpali alinea keenam dengan ketantuan hak opsi para ahliwaris memilih hukum waris yang mereka sukai. Jadi sesudah Penjelasan Umum angka 2 alinea ke lima memberi penegasan tentang berlakunya hukum waris Islam bagi mereka yang beragama Islam dan kewenangan mengadili perkaranya menurut Pasal 49 jatuh menjadi kompetensi absolut lingkungan Peradilan Agama maka penegasan ketentuan itu “dianulir” atau dimentahkan kembali oleh Penjelasan Umum angka 2 alinea ke enam, dengan cara memberi hak “opsi“ atau “hak pilih” bagi para pihak yang berperkara. Ini berarti pihak yang berperkara diberi oleh undang-undang keleluasan apakah pelaksanaan pembagian harta peninggalan dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Penjelasan ini memberi hak untuk memilih hukum waris mana yang akan dipilih dalam penyelesaian sengketa pembagian harta warisan. Hal ini berkaitan erat dengan sistem tata hukum yang berlaku di Indonesia. Kita mengenal tiga sistem tata hukum yang berlaku. Sistem tata hukum Eropa yang juga mengatur hukum warisan yang terdapat dalam Buku Kedua KUH Perdata (BW), Bab XII, XIII, XIV, XV, XVI, XVII, dan Bab XVII, mulai dari Pasal 830 sampai Pasal 1130. Kedua sistem tata hukum Adat yang juga berisi aturan tentang hukum warisan Adat. Tata hukum Islam Adat di samping bersifat tradisional dan standar, sudah banyak berubah baik oleh karena pengaruh pertumbuhan dan perkembangan nilai. Perkembangan dan perubahannya terutama melalui jalur putusan-putusan peradilan yang melahirkan yurisprudensi yang mengandung penerobosan terhadap nilai hukum warisan tradisional kearah yang lebih berdimensi perikemanusiaan dan kesederajatan hak mewaris antara anak laki-laki dengan anak perempuan dan antara janda dengan duda, sehingga lahir hukum Adat “Warisan Baru” yang dikembangkan sesudah Perang Dunia ke dua. Ketiga ialah sistem tata hukum yang diperlakukan kepada golongan rakyat yang beragama Islam. Menurut ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 sistem tata hukum warisan yang diperlakukan kepada golongan rakyat yang beragama Islam, termasuk hukum waris Islam.[4]
Jika hak opsi yang ditentukan dalam Penjelasan Umum dihubungkan dengan tiga sistem tata hukum dimaksud, berarti undang-undang memberi kebebasan bagi masyarakat pencari keadilan untuk menentukan pilihan hukum pada salah satu sistem tata hukum dimaksud. Mereka boleh menjatuhkan pilihan kepada hukum waris Eropa, hukum waris Adat, atau hukum waris Islam. Dengan demikian sepanjang mengenai bidang hukum warisan, UU No. 7 Tahun 1989 menganut asas “hak opsi”.
Adanya hak opsi dalam hukum waris memberi peluang kepada para pihak yang menjadi ahli waris untuk mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya dalam lapangan hukum waris.[5]
E. Metode Penelitian
1. Subjek penelitian
Subjek penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Negeri Sleman yang memutus perkara opsi sengketa waris.
2. Objek penelitian
a. Pelaksanaan hak opsi dan penyelesaian sengketa waris.
b. Dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan hak opsi perkara waris di Pengadilan Negeri.
3. Sumber data
a. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan.
b. Sumber data sekunder yang diperoleh dari Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 18/Pdt.G/1999/PN. Smn.
4. Teknik pengumpulan data
Dalam melakukan penelitian digunakan alat penelitian sebagai berikut :
a. Wawancara
Wawancara adalah cara penelitian dengan mengadakan tanya
jawab secara langsung kepada narasumber dan responden.[6] Hasil wawancara ini berupa data primer. Adapun pihak yang diwawancarai adalah Hakim Pengadilan Negeri Sleman yang memutus perkara dengan objek sengketa waris.
b. Studi pustaka
Studi pustaka adalah pengumpulan data dengan cara membaca dan mengutip teori-teori yang berasal dari buku dan tulisan-tulisan lain yang relevan dengan penelitian ini.
5. Analisis data
Data yang diperoleh dari penelitian, disusun dan ditulis dalam bentuk deskripsi dan dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif kualitatif, yakni dengan memberikan interpretasi terhadap data yang diperoleh secara rasional dan obyektif, kemudian menggambarkan hubungan antara variabel yang satu dengan variabel lain yang diteliti agar dapat menggambarkan fenomena yang ada secara lebih konkret dan terperinci.[7]
[1] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm. 165.
[2]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 355.
[3]M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm. 160.
[4]Ibid., hal. 163.
[5] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Akademika Pressindo, Jakarta, 1992, hlm. 56.
[6] Sutrisno Hadi, Metode Penelitian Skripsi, Tesis dan Karya Ilmiah Lainnya, Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm. 23.
[7] Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survey, Liberty, Yogyakarta, hlm. 45.
- Baca selengkapnya »
===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================