HUBUNGAN ALOKASI ANGGARAN PEMBANGUNAN APBD DENGAN PERTUMBUHAN UKM DI KABUPATEN KETAPANG TAHUN 1999-2003
Jul 5th, 2008 by admin4
BAB I
PENGANTAR
1.1 Latar Belakang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan kebijaksanaan keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang disusun berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta berbagai pertimbangan lainnya dengan maksud agar penyusunan, pemantauan, pengendalian dan evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah mudah dilakukan. Pada sisi yang lain Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dapat pula menjadi sarana bagi pihak tertentu untuk melihat atau mengetahui kemampuan daerah baik dari sisi pendapatan maupun sisi belanja (Mardiasmo dan Kirana-Jaya, 1999: 34).
Diokno (2001: 67) menyebutkan bahwa anggaran sebuah negara bisa digunakan untuk mengukur arah keberpihakan penyelenggara negara. Hal ini juga berlaku pada level daerah, sehingga dapat dikatakan bahwa anggaran daerah dapat digunakan untuk mengukur arah keberpihakan penyelenggara pemerintah di daerah tersebut. Anggaran di daerah dituangkan dalam bentuk APBD.
APBD merupakan sebuah instrumen kebijakan yang sangat penting artinya bagi banyak pihak. APBD sangat penting bagi Pemerintah Daerah karena menyangkut sumber dana operasional Pemerintah Daerah. APBD sangat penting bagi pembangunan karena mengatur prioritas dan alokasi dana pembangunan di daerah. APBD sangat penting bagi rakyat karena di dalamnya juga nasib rakyat bergantung.
APBD merupakan gambaran dari ekspresi konkret komitmen penyelenggara pemerintahan daerah terhadap pilihan-pilihan kebijakan pembangunan sektor, atau proyek. Sektor, program, atau proyek yang mendapatkan prioritas dari pemerintah pasti akan memperoleh dana alokasi yang besar. Demikian juga sebaliknya, sektor, program, atau proyek yang bukan menjadi prioritas tidak akan memperoleh alokasi dana yang terlalu besar. Misalnya, ketika Pemerintah Daerah mengatakan berkomitmen untuk memberantas kemiskinan, maka Pemerintah Daerah harus menuangkan komitmennya tersebut dalam sebuah program konkret yang didanai oleh APBD. Analisis terhadap APBD dapat menjadi bukti nyata, apakah Pemerintah Daerah tersebut betul-betul menyediakan alokasi dana yang memadai untuk program-program pengentasan kemiskinan. Bila analisis anggaran tidak menemukan adanya dana yang memadai untuk program kemiskinan, janji pengentasan kemiskinan tersebut adalah sebuah bentuk kebohongan publik. Demikian juga halnya dalam persoalan pengembangan usaha kecil. Menurut Pandit (1995) analisis anggaran bisa digunakan untuk melihat seberapa jauh Pemerintah Daerah berkomitmen untuk mengembangkan usaha kecil. Apakah prioritas yang ditetapkan APBD mendorong terjadinya pengembangan usaha kecil, atau sebaliknya, justru menghambat perkembangannya (lihat Samuel, 1998: 45).
Kebijakan anggaran, dengan disertai oleh beberapa kondisi dan perilaku yang ada di Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, kalangan perbankan, juga disertai dengan beberapa kondisi di kalangan masyarakat dan pengusaha kecil yang membentuk sebuah rantai yang berakhir pada terpuruknya usaha kecil. Penjelasan implikasi masing-masing ketimpangan adalah sebagai berikut.
Ketimpangan antara alokasi belanja rutin dan pembangun APBD terjadi setiap tahun penetapan APBD. Besarnya alokasi belanja rutin ini salah satunya disebabkan oleh birokrasi yang terlalu gemuk, juga disebabkan kegagalan pemerintah untuk mengefisienkan biaya-biaya yang bersifat rutin. Anggaran besar untuk belanja rutin sebenarnya tidak terlalu bermasalah bila diikuti dengan kinerja birokrasi yang juga tinggi. Sayangnya, birokrasi yang gemuk, dengan jumlah pegawai negeri yang juga banyak, tidak membuat pelayanan pada masyarakat menjadi semakin baik.
Logikanya, dengan banyaknya jumlah pegawai di lingkungan birokrasi Pemerintah Daerah, beban kerja per individu menjadi semakin kecil. Beban yang semakin kecil ini mestinya berkorelasi positif terhadap penyelesaian tugas-tugas masyarakat dalam tempo yang cepat. Tetapi logika seperti ini tidak terjadi di Indonesia. Pengalaman rill di lapangan menunjukkan bahwa banyak di antara pegawai birokrasi Pemerintah Daerah yang menganggur pada saat jam kerja. Banyak di antaranya yang keluyuran, mengobrol ke sana ke mari, main catur, main game, dan sebagainya. Rasa keadilan masyarakat terusik karena sebagian besar alokasi untuk anggaran layanan justru dibebankan pada masyarakat (Heriyanto & Kiswanto, 2003: 21).
Tingginya alokasi belanja rutin yang menyedot dana APBD sehingga alokasi dana untuk anggaran pembangunan menjadi sangat minim. Kecenderungan ini terjadi hampir di semua APBD di seluruh Indonesia¾ dana pembangunan tidak mencapai angka 30% dari total anggaran. Anggaran pembangunan hanya berkisar pada angka 15-20% saja. Pembangunan macam apakah yang bisa diharapkan dari anggaran yang tidak lebih besar dari 20%? Belum lagi bila anggaran pembangunan ini pun dikorupsi? Atau bila anggaran pembangunan ini masih pula dititipi pos yang semestinya masuk dalam anggaran rutin? (Heriyanto & Kiswanto, 2003: 22).
Dalam penyusunan APBD sering ditandai dengan tidak hati-hatinya Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan alokasi. Hal ini bisa dilihat pada beberapa kebijakan alokasi dana yang timpang, tidak konsisten, atau terlampau besar pada suatu pos tertentu (yang tidak perlu) dan alokasi dana yang minim pada pos lainnya (yang menyangkut hajat hidup rakyat). Berikut ini adalah ringkasan dari beberapa pos yang patut disoroti (Diokno, 2001: 68):
- tingginya Alokasi Belanja Rutin dan Rendahnya Pos Belanja Pembangunan. APBD dari tahun ke tahun selalu ditandai dengan pos belanja rutin yang jauh lebih besar dibandingkan dengan belanja pembangunan;
- besarnya pos pembayaran bunga utang. Pembiayaan bunga utang adalah pembayaran yang dilakukan Pemerintah Daerah pada pihak-pihak yang memberikan pinjaman yang berasal dari dalam negeri. Sebagian besar bunga utang dalam negeri diberikan pada perbankan nasional;
- minimnya pos kesejahteraan sosial. Sejak era pemerintahan Soeharto sampai sekarang APBN tidak pernah memberikan alokasi dana yang besar untuk digunakan sebagai jaminan sosial langsung pada masyarakat. Hal ini juga terjadi di daerah, sampai sekarang Pemerintah Daerah tidak menetapkan jaminan sosial (social security) untuk masyarakat dan hanya mengalokasikan secara sporadis sejumlah dana (yang minim) pada APBD untuk pos kesejahteraan sosial;
- berkurangnya pos subsidi kepada rakyat. Pemerintah daerah memberikan subsidi kepada rakyatnya untuk barang-barang atau jasa publik yang merupakan hajat hidup orang banyak. Logika subsidi muncul dengan pertimbangan bahwa masyarakat berada pada kondisi ekonomi yang lemah sehingga tidak bisa membeli barang atau jasa vital sesuai harga pasar. Salah satu subsidi yang sering diberikan misalnya subsidi listrik dan subsidi BBM. Subsidi-subsidi yang diberikan ini sangat bermanfaat bagi rakyat tidak mampu dan juga bagi UKM-UKM yang banyak tersebar di dalam masyarakat.
Timpangnya anggaran rutin dan pembangunan ini memang tidak secara langsung berpengaruh pada perkembangan UKM. Tetapi berpengaruh dalam menciptakan kondisi yang menghambat perkembangan UKM. Seandainya saja anggaran pembangunan bisa lebih besar, hal itu berarti akan semakin banyak fasilitas umum, seperti listrik, telepon, jalan, jembatan yang bisa dibiayai oleh anggaran. Tetapi yang demikian ini tidak pernah terjadi (Diokno, 2001: 68).
Karenanya, bisa dikatakan bahwa kebijakan alokasi anggaran yang menetapkan anggaran rutin jauh lebih besar dari anggaran pembangunan secara tidak langsung menghambat perkembangan usaha kecil. Kebijakan tersebut mencerminkan rendahnya komitmen penyelenggara negara pada pemberdayaan usaha kecil.
Padahal di lain pihak, kenyataan menunjukkan bahwa usaha kecil menempati posisi strategis dalam perekonomian di Indonesia yang tidak perlu diragukan lagi. Dari segi penyerapan tenaga kerja, sekitar 90% dari seluruh tenaga kerja Indonesia bekerja pada sektor Usaha Kecil Menengah (UKM). Peran UKM yang besar pada masa resesi ekonomi 1998 dan selama proses pemulihan ekonomi semakin mengukuhkan posisi UKM sebagai pelaku ekonomi yang sangat penting.
Dari data yang dimiliki oleh BPS tahun 1998 dapat diketahui perkembangan usaha kecil di Indonesia sebagai berikut.
Tabel 1.1
Jumlah Unit Industri Menengah/Besar dan Industri Kecil, 1991‑1997
Tahun |
Industri Skala Menengah/Besar |
Industri Skala Kecil |
Jumlah |
Persen (%) |
||||
1991 |
16,494 |
0.66 |
2,473,765 |
99.34 |
2,490,256 |
100 |
||
1992 |
17,648 |
0.71 |
2,474,235 |
99.29 |
2,491,883 |
100 |
||
1993 |
18,219 |
0.73 |
2,478,549 |
99.27 |
2,496,768 |
100 |
||
1994 |
19,017 |
0.74 |
2,503,529 |
99.26 |
2,522,305 |
100 |
||
1995 |
21,551 |
0.80 |
2,641,339 |
99.20 |
2,662,662 |
100 |
||
1996 |
22,997 |
0.87 |
2,679,130 |
99.13 |
2,702,595 |
100 |
||
1997 |
23,386 |
0.71
|
3,543,397 |
99.30 |
3,566,783 |
100 |
Sumber: BPS Pusat, Laporan Perkembangan Industri, 1998.
Tabel 1.1 menunjukkan 99.3 % dari jumlah unit industri merupakan industri kecil. Begitu pula Tabel 1.2 memperlihatkan jumlah pekerja yang diserap industri kecil lebih besar (± 67 %) dibandingkan jumlah tenaga kerja yang diserap oleh industri skala besar‑menengah (± 23%). Oleh karena itu, sudah sepantasnya pemerintah memberikan perhatian khusus dalam pembangunan ekonomi. Namun demikian, pengembangan usaha kecil yang telah dilakukan masih belum memuaskan, sehingga dirasakan keberadaan industri kecil selalu tertinggal dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh industri besar.
Dalam Tabel 1.3 diperlihatkan nilai produksi yang dihasilkan industri skala menengah‑besar jauh lebih besar (89,56%) dibandingkan nilai produksi industri kecil hanya 10,44 %. Industri menengah‑besar mengalami kenaikan persentase nilai produksi setiap tahun dari total nilai produksi nasional.
Tabel 1.2
Tenaga Kerja Industri Menengah/Besar dan Industri Kecil di Indonesia
|
Industri Menengah-Besar |
Industri Kecil |
Jumlah |
Sumber: BPS Pusat, Laporan Perkembangan Industri, 1998.
Tabel 1.3
Nilai Produksi yang Dihasilkan Industri Menengah/Besar dan Industri Kecil di Indonesia, 1994 – 1998
Tahun |
Industri Menengah/Besar |
Industri Kecil |
Total Produksi |
Sumber: BPS Pusat, Laporan Perkembangan Industri, 1998.
Kabupaten Ketapang yang termasuk salah satu kabupaten yang berada di wilayah Provinsi Kalimantan Barat, mempunyai jumlah usaha kecil yang berkembang cukup banyak. Hal ini dikarenakan dari segi permodalan usaha kecil bisa dijangkau oleh kemampuan masyarakat, dibandingkan dengan usaha besar. Dari survei pendahuluan yang dilakukan diketahui ada 46 jenis usaha kecil yang berkembang di Kabupaten Ketapang.
Rinciannya sebagai berikut.
Tabel 1.4
Jenis Usaha Kecil yang Berkembang di Kabupaten Ketapang, 2003
No |
Jenis Industri |
Jumlah |
Persentase |
Sumber: Depperindag Kabupaten Ketapang, Data Industri Kabupaten Ketapang, 2003.
Dari 379 jenis industri kecil yang ada di Kabupaten Ketapang, jumlah tenaga kerja yang terserap mencapai ribuan orang dengan modal yang terlibat mencapai miliaran rupiah. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 1.5.
Tabel 1.5
Jumlah Tenaga Kerja dan Modal yang Terserap di UKM Kabupaten Ketapang, 2003
Tahun
|
Jumlah Tenaga Kerja Terserap (Orang) |
Jumlah Modal Terserap (Rp) |
Sumber: Depperindag Kabupaten Ketapang, Data Industri Kabupaten Ketapang, 2003.
Berdasarkan tabel 1.5 dapat diketahui bahwa pada tahun 2003 dari segi tenaga kerja dan modal yang terserap terjadi peningkatan, di mana sebelumnya jumlah tenaga kerja yang terserap pada tahun 2002 hanya sebanyak 2.977 orang dan jumlah modal yang terlibat sebesar Rp18.880.309.000,00 (delapan belas milyar delapan ratus delapan puluh juta tiga ratus sembilan ribu rupiah), maka pada tahun 2003 tenaga kerja yang terserap sebanyak 3.032 orang tenaga kerja dan modal yang terlibat sebanyak Rp19.964.559.000,00 (sembilan belas milyar sembilan ratus enam puluh empat juta lima ratus lima puluh sembilan ribu rupiah). Jumlah ini mengalami peningkatan dari segi jumlah tenaga kerja terserap sebanyak 1,84 persen dan dari segi modal terlibat sebesar 5,74%.
Adanya jumlah tenaga kerja yang terserap pada UKM berarti akan mengurangi jumlah pengangguran yang terjadi di Kabupaten Ketapang. Oleh karena itu sektor UKM mempunyai potensi yang cukup besar untuk mengurangi jumlah pengangguran yang ada di Kabupaten Ketapang. Hal ini berarti keberadaan UKM dapat membantu pengembangan ekonomi rakyat yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penghasilan yang diperoleh masyarakat melalui UKM memberikan kontribusi kepada PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Dari data Kabupaten Ketapang dalam Angka 2001, diperoleh data mengenai distribusi persentase PDRB atas dasar harga konstan 1993 yang berasal dari sektor industri di Kabupaten Ketapang tahun 1999-2003, sebagaimana disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 1.6
Persentase PDRB Atas Dasar Harga Konstan 1993 yang Berasal dari Sektor Industri di Kabupaten Ketapang
Tahun |
PDRB |
Kontribusi Sektor Industri |
Sumber: Pemerintah Kabupaten Ketapang, Kabupaten Ketapang dalam Angka Tahun 2001 (diolah).
Berdasarkan tabel 1.6 dapat diketahui bahwa sumbangan sektor industri kecil terhadap PDRB cukup besar, yaitu mencapai rata-rata 20%. Akan tetapi dalam kenyataannya, meskipun posisi UKM dipandang strategis dan membawa banyak manfaat bagi pengembangan ekonomi rakyat, akan tetapi para penyelenggara pemerintahan sering kali tidak mampu merumuskan kebijakan yang kondusif bagi perkembangan usaha kecil. Hal ini diindikasikan oleh sedikitnya lebih rendahnya alokasi anggaran belanja pembangunan dibandingkan anggaran belanja rutin. Padahal untuk pertumbuhan UKM justru anggaran belanja pembangunan inilah yang dapat mendorong pertumbuhan UKM. Hal ini dikarenakan dengan melalui anggaran belanja pembangunan, maka pemerintah membangun infrastruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan adanya fasilitas ini secara tidak langsung semakin mempermudah UKM untuk melakukan aktivitasnya, sehingga akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan UKM. Sebaliknya jika alokasi dana pembangunan kecil maka fasilitas yang dapat digunakan UKM untuk melakukan aktivitasnya tidak begitu mendukung.
Dengan berpijak pada konsep bahwa alokasi dana pembangunan akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan UKM, maka studi ini akan mengkaji seberapa jauh hubungan antara besarnya alokasi dana pembangunan dengan pertumbuhan usaha kecil yang dilihat dari aspek tenaga kerja yang diserap UKM, modal UKM dan juga kontribusi sektor industri terhadap PDRB Kabupaten Ketapang. Sehubungan dengan itu rumusan masalahnya adalah: Apakah alokasi belanja pembangunan APBD dapat mempercepat pertumbuhan usaha kecil dilihat dari aspek tenaga kerja yang terserap UKM, modal UKM dan juga kontribusi sektor industri terhadap PDRB Kabupaten Ketapang?
1.2 Keaslian Penelitian
Heriyanto dan Kiswanto (2003) meneliti komposisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara periode 2001, 2002 dan 2003 dengan tujuan untuk menemukan kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan pemberian dukungan terhadap usaha kecil masyarakat. Dari penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa alokasi budget untuk pengeluaran/belanja pemerintah, pengeluaran rutin, pengeluaran untuk pembayaran bunga hutang pemerintah, dan pengeluaran untuk biaya pengembalian hutang luar negeri, menempati porsi terbesar dari anggaran yang disusun pemerintah. Di lain pihak alokasi budget yang secara langsung maupun tidak langsung berpihak pada perkembangan usaha kecil, benar-benar minimal, antara lain budget di bidang pengeluaran pembangunan, subsidi BBM/non BBM kepada rakyat, dan pengeluaran-pengeluaran untuk kesejahteraan sosial. Berdasarkan hasil temuan lebih lanjut dapat diketahui bahwa kebijakan yang diambil pemerintah tersebut berdampak negatif terhadap pertumbuhan usaha kecil.
Abdou (2000) meneliti tentang peranan UNDP (United Nation Development Program) di Uzbekistan terhadap pengembangan usaha kecil dan menengah. Ternyata UNDP mempunyai peranan yang sangat besar dalam pengembangan usaha kecil dan menengah. Pengembangan dilakukan dengan memberikan program bantuan khusus kepada pengusaha kecil dan menengah di Uzbekistan. Program bantuan tersebut berupa modal usaha dan bantuan manajemen kepada usaha kecil dan menengah.
Bamfo (2001) yang penelitiannya menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif, meneliti strategi pembangunan rakyat kecil di negara Afrika. Variabel yang diteliti adalah suatu strategi pembangunan yang akan mendorong kota-kota (daerah) agar memanfaatkan bantuan keuangan untuk digunakan dalam aktivitas ekonomi maupun sosial, seperti aktivitas sebuah perusahaan. Dijelaskan bahwa dukungan pemerintah nasional (pusat) terhadap kota-kota akan membawa implikasi pada tersedianya kebutuhan dana yang memadai, kegiatan administrasi yang terbaik dalam mengatur jalannya program bantuan keuangan untuk berperan aktif dalam penyediaan dana, serta perubahan sikap antipati dan perilaku masyarakat kotapraja dalam berbagai berbisnis yang selama ini menggunakan dana bank tradisional.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Heriyanto dan Kiswanto (2003), Bamfo (2001) dan Abdou (2000) adalah pada variabel yang diteliti, yaitu kebijakan yang berpihak pada pertumbuhan usaha kecil. Perbedaannya adalah pada daerah penelitian dan fokus penelitian. Fokus penelitian ini adalah kebijakan anggaran pembangunan APBD, sedangkan penelitian Heriyanto dan Kiswanto (2003) difokuskan pada APBN, Bamfo (2001) difokuskan pada kebijakan pembangunan ekonomi di daerah dengan memanfaatkan dana dari bank tradisional, sedangkan fokus penelitian Abdou (2000) adalah pada kebijakan UNDP dalam pengembangan usaha kecil dan menengah berupa pemberian bantuan modal usaha dan bantuan manajemen kepada usaha kecil dan menengah.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
- untuk mengetahui apakah alokasi belanja pembangunan APBD dapat mempercepat pertumbuhan usaha kecil dilihat dari aspek tenaga kerja yang terserap UKM, modal UKM dan juga kontribusi sektor industri terhadap PDRB Kabupaten Ketapang;
- untuk mengetahui strategi peningkatan pertumbuhan UKM yang ada di Kabupaten Ketapang.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian menjadi masukan bagi Pemerintah Kabupaten Ketapang khususnya dalam kebijakan di bidang alokasi belanja pembangunan untuk meningkatkan pertumbuhan UKM di Kabupaten Ketapang.
1.5 Sistematika Penulisan
Dalam penulisan tesis ini sistematika penulisan yang akan digunakan adalah sebagai berikut: Bab I Pengantar, yang menguraikan tentang latar belakang dilakukannya penelitian, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka dan Alat Analisis, menguraikan tentang teori-teori yang akan digunakan dalam pembahasan penelitian. Bab III Analisis Data, menguraikan tentang analisis data dan pembahasannya. Bab IV yang merupakan Bab Penutup menguraikan kesimpulan hasil penelitian dan pembahasan serta implikasi kebijakan yang dapat dipertimbangkan Pemerintah Kabupaten Ketapang dalam mengelola keuangan daerah yang berpihak pada pertumbuhan usaha kecil di Kabupaten Ketapang.
- Baca selengkapnya »
===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================