Did You Know? Apapun yang dilakukan dengan hati, akan membuahkan hasil yang berkesan pula di hati..

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1.    Latar Belakang

Reformasi sebagai bentuk respon positif dalam menyikapi krisis multidimensional yang memunculkan paradigma baru penyelenggaraan kehidupan bernegara terhadap norma efisiensi, partisipasi, transparansi dan akuntabilitas publik. Tuntutan dan aspirasi masyarakat tentang penyelenggaraan pemerintahan, setidaknya telah membawa beberapa hal; pertama, reformasi sistem politik untuk menuju kehidupan politik yang lebih demokratis melalui keterlibatan dan partisipasi rakyat dalam proses politik yang menyangkut kepentingan publik ; kedua, tuntutan good governance and clean government dalam penyelenggaraan negara yang didukung dengan prinsip dasar kepastian hukum, akuntabilitas, transparansi, keadilan, profesionalisme dan demokratis seperti yang dikumandangkan oleh World Bank, UNDP, United Nation dan beberapa lembaga international lainnya.

          Arus reformasi telah melahirkan Kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang nomor 25 tahun 2000, ternyata bukan saja telah membawa berbagai perubahan mendasar dalam tataran dan berbagai praktek penyelenggaraan pemerintah di daerah, tetapi juga menimbulkan permasalahan baik menyangkut konsep maupun inkonsistensi dan multitafsir yang mengganggu implementasi otonomi  daerah. Wewenang lebih luas dan lebih besar yang telah diberikan kepada daerah, secara tidak langsung mengikat tanggung jawab pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan pelayanan masyarakat yang semakin besar. Pemerintah daerah mengembangkan strategi yang dianggap tepat dan meningkatkan kualitas pelayanan publik berdasarkan tafsir daerah masing-masing, terkadang menimbulkan inkonsistensi kebijakan penyelenggaraan pemerintahan otonomi.

Didalam penjelasan Undang-undang 22 tahun 1999 menyebutkan bahwa pemberian otonomi daerah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta memelihara hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dalam rangka menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Didalam prakteknya, pemerintah daerah dihadapkan kepada persoalan dilematis karena, pada satu sisi berhadapan dengan tugas pokok yang semakin kompleks, akibat tuntutan masyarakat dan disisi lain dihadapkan kepada kelangkaan resoursis yang dimiliki. Dengan alasan mengejar kelangkaan risorsis, pemerintah daerah dapat pula memanfaatkan kewenangan luas tersebut untuk menggali potensi dengan eksploitasi besar-besaran didaerah tanpa batas yang semestinya, apabila tidak dikontrol secara arif dan adil.

Disamping itu, tuntutan era globalisasi yang bercirikan kemampuan untuk mengedepankan comparative dan competitive advantages membuat pemerintah daerah melakukan out sourcing atau importing energy dari luar pemerintah daerah sendiri, seperti dari masyarakat maupun dunia swasta yang profesional diluar pemerintah.

Salah satu dampak globalisasi di era otonomi yang terpenting dan menyentuh kebutuhan masyarakat yang paling mendasar adalah bidang jasa dan dampak kesehatan, yang sangat ditentukan oleh lingkup kelompok jasa pelayanan kesehatan yang akan masuk ke Indonesia pada era globalisasi. Dampak yang dimaksud adalah : (1) globalisasi kelompok jasa yang dapat dikonsumsi tanpa perlu mendatangi negara penghasil jasa (across a border); (2) globalisasi kelompok jasa yang untuk menkonsumsinya harus mendatangi negara penghasil jasa (throught consumption abroad) dan (3) globalisasi kelompok jasa yang diselenggarakan oleh suatu sarana asing yang didirikan disuatu negara (throught commercial presence). Secara perspektif positif, kondisi yang strategis tersebut merupakan kesempatan untuk merubah paradigma pelayanan kesehatan masyarakat didalam menyusun suatu isu dan kebijakan desentralisasi.

Permasalahan diatas tentunya menuntut kesiapan sumber daya manusia yang perlu segera diantisipasi secara cermat dan teliti oleh pemerintah daerah. Dampak dari reformasi pasca otonomi dan tuntutan globalisasi, ada yang menimbulkan kondisi positif dan ada yang negatif, yang positif dapat digunakan dan dikembangkan sedangkan yang negatif dijadikan sebagai kontrol untuk pencapaian perbaikan. Misalnya tanpa dapat dibendung lagi, kerjasama multilateral dan global secara perlahan akan diperbanyak dan terus ditingkatkan oleh daerah, karena banyak masalah global yang tidak bisa lagi diatasi atau ditanggulangi beberapa negara, tetapi perlu pemecahan bersama dan mengikut sertakan pula aktor-aktor non negara dengan fasilitas kesehatan swasta berkapasitas global dan memiliki profesionalitas yang teruji.

Untuk itu, peran negara menyikapi fenomena dimulai dengan langkah merumuskan kebijakan yang ideal dan berstrategi diera otonomi dan globalisasi, salah satu alternatif melalui penetapan suatu standar. Misalnya, Standar Pelayanan kesehatan digunakan sebagai langkah untuk menciptakan kebijakan menjaga mutu pelayanan oleh pemerintah, sebab menjaga mutu merupakan sebuah kegiatan yang berkelanjutan yang disusun secara objektif dan sistematis dalam memantau dan menilai mutu serta kewajaran suatu pelayanan dengan memanfaatkan barbagai peluang yang tersedia untuk meningkatkan pelayanan yang diselenggarakan serta menyelesaikan berbagai masalah yang ditemukan. Memanfaatkan peluang yang tersedia memberi makna dan mempunyai semangat kewirausahaan (entrepreneur) yang positif apabila ditangani dengan arif oleh institusi penyelenggara pelayanan masyarakat (publik).

 

Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan Propinsi Yogyakarta No. 123 tahun 2003, tanggal 11 september 2003, diperhitungkan dapat menilai kinerja unit pelayanan kesehatan, sebab kualitas pelayanan menjadi terukur dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini cukup beralasan sebab format standar SPM memuat 3 (tiga) materi pokok, yaitu rincian kewenangan, jenis pelayanan dan indikator pencapaian atau penyelesaian dari aktivitas pelayanan kesehatan yang dilakukan. Standar Pelayanan Minimal kesehatan merupakan standar pelayanan publik untuk menjamin minimum pelayanan kesehatan yang berhak diperoleh masyarakat dari Pemerintah.

Image yang sering melekat pada organisasi publik adalah berbelit-belit, lambat dan tidak responsif. Image ini juga melekat pada pelayanan kesehatan seperti puskesmas, sehingga menurut Cooper dan Denhart dalam Dwiyanto (2003),  pilihan yang tepat untuk membangun birokrasi yang bersih dan accountable adalah adanya kontrol internal dan eksternal. Beberapa aspek yang termasuk kontrol adalah etika, standar dan norma-norma profesi. Nilai-nilai ini apabila dapat dilembagakan akan menjadi sumber tuntutan bagi para pejabat publik dalam bertindak.

Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) sebagai salah satu institusi fasilitas pemerintah daerah dan sebagai lini terdepan dalam pemberian pelayanan kesehatan non-profit kepada masyarakat dan merupakan ujung tombak dalam sistem kesehatan Nasional, juga dituntut untuk dapat memberikan pelayanan dengan baik berdasarkan wewenang tugas pokok dan fungsinya yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, masalah dan kemampuan Puskesmas tersebut. Masalah globalisasi kesehatan membawa konsekuensi, yaitu kompetensi pelayanan kesehatan pemerintah akan terdesak oleh investasi asing dan minimal membentuk persepsi masyakat tentang pelayanan yang layak diterima. Akibat dari tuntutan masyarakat tersebut, profesionalisme pelayanan semakin dipacu tetapi berdasarkan koridor kebijakan standar pelayanan yang telah disusun.

Berdasarkan laporan hasil penelitian disertasi pada majalah Populasi edisi 14 oleh Widaningrum (2003) yang mengutip Liberman dan Marzuki  bahwa, angka kunjungan ke Puskesmas dan Posyandu menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Kemudian dari kutipan data BPS, angka kesakitan telah mengalami peningkatan sampai dengan tahun 2000 seperti pada uraian table dibawah ini :

Tabel 1

Angka Kunjungan Puskesmas, Posyandu

Dan Angka Kesakitan Indonesia (%)

 

Tahun

Angka kunjungan Puskesmas

Angka kunjungan Posyandu

Angka Kesakitan

 

 

 

 

1995

4.66

1.69

1997

4.31

1.66

25.4

1998

3.25

1.01

2000

25.6

 Sumber Data :    Liberman – Marzoeki dan BPS ,  Majalah Populasi edisi 14,  2003

 

Berdasarkan kutipan dari buku Profil Statistik Provinsi Yogyakarta (2000;21), hasil pengolahan data Kor Susenas Tahun 2000 menunjukkan alternatif kunjungan ke pelayanan kesehatan milik Pemerintah untuk daerah perkotaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terbanyak ke puskesmas sebesar 27,22 %, setelah pelayanan praktek dokter swasta seperti pada uraian tabel dibawah ini:

Tabel 2

Persentase Kunjungan Penduduk ke pelayanan kesehatan menurut

Tempat pelayanan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2000

Tempat Pelayanan

Perkotaan

Perdesaan

Wanita

Laki-laki

Total

Wanita

Laki-laki

Total

RS Pemerintah

5.35

7.32

6.22

3.95

3.91

3.93

RS Swasta

3.87

5.36

4.56

1.32

5.13

3.20

Praktek Dokter

29.27

39.54

34.02

26.25

27.34

26.79

Puskesmas

Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor:

Hp/Wa. 0812 2701 6999 atau 0817 273 509. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :)

31.82

21.88

27.22

23.71

20.81

22.28

Pustu

5.87

4.25

5.12

11.66

8.54

10.13

Poliklinik

1.85

0.52

1.24

0.94

0.35

0.65

Praktek Petugas Kes

18.08

16.77

17.47

27.95

32.53

30.19

Dukun/Tabib/sinse

1.42

2.66

2.00

2.78

1.50

1.66

Polindes

0.29

0.34

0.31

0.31

0

0.16

Posyandu

2.18

1.46

1.85

1.17

0.89

0.03

Sumber Data : Kor. Susenas : pada buku Profil Statistik DIY,  2000

Diera desentralisasi, kemandirian Puskesmas terus ditingkatkan melalui perluasan kewenangan dalam pengadaan sarana dan prasarana, termasuk peralatan dan perangkat medis maupuin non medis. Peningkatan wewenang tersebut telah memungkinkan Puskesmas untuk menggerakkan potensi masyarakat, termasuk menghimpun dana lebih besar untuk memenuhi kebutuhannya.

Puskesmas Kota Gede II merupakan salah satu fasilitas organisasi publik diwilayah pemerintahan kota Yogyakarta Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang melaksanakan tujuan :

1.      Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat diwilayah kerjanya.

2.      Memberikan layanan kesehatan yang mudah dan murah.

Ditinjau dari lokasi yang berada tepat dipinggir jalan raya dan memiliki tingkat aksesibilitas yang sangat mudah, penetapan biaya berobat yang relatif murah menyebabkan layanan kesehatan oleh puskesmas cukup banyak digunakan masyarakat didalam dan luar lintas wilayahnya (Masyarakat Kabupaten Bantul) sebagai pilihan pertama sekali ketika menghadapi masalah kesehatan mereka, maka puskesmas ini relatif mudah terjangkau.

Berdasarkan Profil kesehatan Puskesmas Kota Gede II tahun 2002, dilaporkan bahwa pencapaian target tarif setoran yang disepakati senantiasa dapat dipenuhi bahkan sering melebihi setoran yang ditetapkan. Namun prestasi belum pernah masuk kedalam kategori 10 (sepuluh) besar bahkan pernah menduduki ranking terendah pada urutan ke-18 se-kota Yogyakarta.

Tabel  3

Penetapan Kebijakan Biaya Berobat Dan Rencana kenaikan

Tarif Berobat Pada Puskesmas Kota Gede II Tahun 2004

 

RINCIAN BIAYA PER-PERIODE

<  Tahun 2000

Tahun 2000 – Saat ini

2005 #)

Rp. 300.-

Rp. 600.-

Rp. 4.000

Sumber : Wawancara Dengan Kepala Puskesmas Kota Gede II, Agustus 2004

#)  = Rencana kenaikan untuk seluruh kota Yogyakarta.

 

Dalam rangka swadana puskesmas era otonomi, maka pada tahun 2005 akan diberlakukan tarif  berobat sebesar Rp. 4000.- untuk setiap pasien, artinya akan terjadi kenaikan lebih besar 6 (enam) kali lipat lebih dari penetapan tarif sebelumnya. Hal ini dipertimbangkan untuk mengejar kebutuhan peningkatan fasilitas dan mutu pelayanan mandiri di kota Yogyakarta seiring peningkatan kompetisi dengan sarana-sarana kesehatan swasta yang berada dalam wilayah Rejowinangun seperti: RS Bersalin Permata Bunda, Pengobatan Puri Adisti, Klinik IBI, Pengobatan lengkap Hidayatullah, Pengobatan Spesialis Medika dan puluhan praktek Bidan / dokter lainnya yang mengadakan tindakan profesional dan telah memberlakukan tarif jauh lebih besar dibandingkan dengan rencana tarif baru tersebut. Walaupun pada dasarnya puskesmas sebagai institusi yang non-profit milik pemerintah bertarif murah namun diharapkan dapat bersaing, akibat subsidi bantuan yang sangat terbatas dari pemerintah maka pemenuhan tuntutan peningkatan akan dibebankan pada tarif pelayanan yang akan diberikan.

Persoalan menarik lainnya pada tahun 2003 adalah kematian Ibu melahirkan sebanyak 8 orang di Kota Yogyakarta dan salah seorang Ny. Sri Wiji Lestari (30 thn), keluarga miskin (Gakin) diwilayah Rejowinangun, setelah melahirkan di bidan praktek, 9 hari kemudian meninggal pada tanggal 29 september 2003 akibat transfusi cairan tubuh yang tidak optimal pada saat pertolongan darurat di klinik swasta. Dari rekaman kegiatan pelayanan kesehatan, tercatat almarhumah baru sekali memeriksakan kehamilannya di Puskesmas Kota Gede II, padahal secara prosedur si Ibu wajib menjalani K-4 atau kunjungan ke-empat kehamilan sebelum melahirkan disarana kesehatan. Secara status almarhumah adalah keluarga miskin (Gakin) merupakan tanggung jawab pemerintah Rejowinangun. Peristiwa ini terjadi hanya 18 hari setelah dikeluarkan kebijakan mutu pelayanan minimal yaitu Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan Provinsi Yogyakarta.

A.     Perumusan Masalah

Materi kebijakan No. 123/2003 tentang SPM merupakan variabel guna menilai permasalahan pelayanan dan pemanfaatan peluang peningkatan pelayan kepada masyarakat diwilayah kerja institusi. Begitu juga yang terjadi di pelayanan Puskesmas Kota Gede II, adanya rencana kenaikan tarif 6 kali dari sebelumnya dan tanggung jawab terhadap permasalahan kesehatan yang telah terjadi, sepantasnya kualitas pelayanan yang diberikan berbanding lurus (linier) dengan keseimbangan wewenang dan tugas pokok Puskesmas, berpedoman standar pelayanan minimal oleh Pemerintah kota Yogyakarta dapat menilai kinerja kegiatan Puskesmas Kota Gede II.

Melalui penelitian kebijakan, bahan masukan lain, yang berfokus terhadap kualitas pelayanan dan berdasarkan pengalaman Puskesmas yang paling kecil, baru mandiri dan pernah menduduki rangking terendah sebagai batas kualitas terendah pelayanan kota Yogyakarta (profil Kesehatan, 2002: 5), dapat disusun kembali SPM yang tepat dan akurat apabila kebijakan Provinsi tersebut akan direvisi atau ditingkatkan pada kesempatan lain, khususnya untuk kepentingan kota Yogyakarta.

Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas dan menyadari pentingnya untuk menjaga kualitas pelayanan dalam rangka mewujudkan kebijakan pelayanan yang ideal. Dengan adanya Standar Pelayanan Minimal Yogyakarta, dipercaya dapat menggambarkan variabel pelayanan minimal kesehatan di kota Yogyakarta dan seterusnya kepada Puskesmas. Hal ini juga  digunakan untuk melihat gambaran terkini terhadap status perubahan yang terjadi terhadap pelayanan masyarakat. Kegiatan yang telah dilakukan untuk mencapai target menjadi salah satu alternatif pengukuran kinerja unit pelayanan terdepan Puskesmas Kota Gede II secara minimal dan bertanggung jawab. Keterbatasan pengetahuan ilmu spesialisasi kesehatan sangat banyak serta tuntutan batas lingkup penelitian Administrasi Publik berdasarkan pengetahuan konsentrasi kebijakan terbatas yang diterima selama ini, perlu untuk dilakukan pembatasan masalah penelitian.

Pertimbangan pelayanan Program minimal yang wajib di Puskesmas Kota Gede II, permasalahan pelayanan kesehatan dasar (kematian Ibu hamil kelompok Gakin Rejowinangun) dan rencana kenaikan tarif berobat, maka perhatian dan  lingkup penelitian adalah Pelayanan Kesehatan dasar. Untuk itu, rumusan masalah yang akan dilihat dan diteliti adalah :                 

1.      Seberapa jauh penerapan kebijakan Standar Pelayanan Minimal Dimensi kesehatan dasar Provinsi Yogyakarta nomor 123 tahun 2003 meningkatkan standar kesehatan dasar  dan

2.      Seberapa jauh pencapaian standar tersebut mencerminkan kualitas pelayanan masyarakat, di Puskesmas Kota Gede II Yogyakarta tahun 2004?

B.      Keaslian Penelitian

Sepanjang pengetahuan penulis, dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka, sehingga menjadi tema isu  hangat pada era otonomi daerah belakangan ini.

C.     Faedah Yang Diharapkan

Penelitian ini berfaedah baik secara teoritis maupun praktis, yaitu,

1.      Kegunaan teoritis

·       Sebagai sumbangan  penting dan memperluas wawasan bagi kajian ilmu administrasi publik untuk bahan rujukan pengembangan penelitian kebijakan Standar pelayanan yang akan datang.

·       Memberikan sumbangan penting dan memperluas ilmu kajian kebijakan yang menyangkut pelayanan kesehatan dasar.

·         Menambah konsep baru sebagai bahan rujukan untuk pengambangan ilmu kebijakan dalam administrasi Publik.

2.      Kegunaan Praktis

·       Hasil penelitian ini dijadikan sumbangan pikiran bagi kepala Puskesmas Kota Gede II untuk meningkatkan kinerja pelayanan kesehatan melalui kesadaran tanggung jawab dan wewenang tugas yang dapat terukur akibat dari implementasi kebijakan Pelayanan minimum. Dengan demikian pimpinan dapat merencanakan dan menentukan prioritas kerja untuk pencapaian target service selanjutnya sebagai akuntabilitas publik.

·    Meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat Rejowinangun karena perubahan sikap kerja pegawai yang cepat dan tanggap dalam pemberian pelayanan kesehatan karena motivasi  pelaksaan tugas pokok dan fungsinya dapat di nilai secara angka absolut oleh atasan langsung bersama wakil masyarakat di DPRD kota Yogyakarta.

·         Hasil penelitian sebagai tolok ukur minimum yang riil tentang Kualitas pelayanan publik Kota Yogyakarta melalui gambaran Puskesmas Kota Gede II kondisi paling kritis mewakili unit pelayanan yang ada dan sejenis dikota Yogyakarta.

1.2.    Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa :

a.   Gambaran pencapaian tingkat kuantitas penerapan kebijakan Standar minimal pelayanan dibidang kesehatan dasar.

b.    Gambaran pencapaian tingkat kualitas pelayanan dibidang kesehatan Dimensi Kesehatan dasar berdasarkan mutu pelayanan kesehatan

c.    Pencerminan tingkat pencapaian penerapan kebijakan Standar minimal pelayanan dibidang kesehatan Dimensi Kesehatan dasar secara simultan dengan tingkat pencapaian mutu pelayanan kesehatan masyarakat.

    Baca selengkapnya »

===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================

Judul terkait:

Keyword:

makalah implementasi kebijakan publik (75), standar pelayanan minimal puskesmas (57), standar pelayanan minimal kesehatan (51), spm puskesmas (38), pelayanan kesehatan dasar (35), makalah kebijakan kesehatan (30), standar mutu pelayanan kesehatan (28), makalah tentang kebijakan kesehatan (18), kebijakan publik bidang kesehatan (13)

Layanan Referensi & Konsultan Skripsi Tesis & Disertasi   No.HP/WA.0812 2701 6999  / 0817 273 509