Did You Know? Elephants are the only animals that can't jump.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Toshiko Kinosita (Kompas, 24 Mei 2002) mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari masyarakat awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, yang hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang.

Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka panjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang (Nurkolis, 2004).

Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis

baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.

Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.

Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (McMahon dan Geske, 1982 : 121).

Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.

Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Suryadi, 1999 : 247).

Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.

Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.

Itulah sebabnya Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, learning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.

Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Cheng, 1996 : 7).

Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.

Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.

Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.

Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.

Penyelenggaraan pendidikan nasional selama ini, yang disorot mengalami kemunduran, sebenarnya telah mengalami banyak perubahan. Di antaranya keinginan untuk mengajukan kurikulum berbasis kompetensi sebagai pengganti kurikulum 1994 pada tahun 2004. Kurikulum itu mengacu pada kemampuan setiap peserta didik supaya benar-benar dapat diuji setelah menuntaskan pendidikannya di tingkat tertentu (Kompas, April 2004).

Perubahan kurikulum pendidikan untuk penyempurnaan mutu pendidikan, merupakan topik yang menarik untuk dibahas atau didiskusikan. Keberhasilan penyelenggaraan kurikulum tentu tidak terlepas dari tanggung jawab sumber daya manusia di bidang pendidikan serta tidak kalah pentingnya dukungan dari masyarakat sendiri (Jurnal Pendidikan Penabur No. 01/I/Maret 2002).

Penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan peningkatan mutu peserta didik telah diamanatkan dalam kebijakan-kebijakan nasional sebagai berikut (Departemen Pendidikan Nasional, 2003):

  1. Perubahan keempat UUD 1945 Pasal 31 tentang Pendidikan.
  2. TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004.
  3. Undang-undang No. 20 Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
  4. Undang-undang No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
  5. Peraturan Pemerintah No. 25 Th. 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Daerah Provinsi sebagai Daerah Otonom. Kewenangan pemerintah dalam bidang pendidikan antara lain; (a) penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional, dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya, (b) penetapan standar materipelajaran pokok, …..(h) penetapan kalender tahunan bagi pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah dan luar sekolah.

Perubahan kurikulum itu didasari pada kesadaran bahwa perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni dan budaya. Perubahan secara terus-menerus ini menuntut perlunya perbaikan sistem pendidikan nasional termasuk penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

Untuk itu upaya peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh yang mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, seni, olah raga, dan perilaku. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup (life-skills) yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang. Dengan demikian peserta didik memiliki ketangguhan, kemandirian, dan jati diri yang dikembangkan melalui pembelajaran dan atau pelatihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.

Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor:

Hp/Wa. 0812 2701 6999 atau 0817 273 509. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :)

Kebijakan pemerintah menggunakan kurikulum berbasis kompetensi didasarkan pada PP Nomor 25 tahun 2000 tentang pembagian kewenangan pusat dan daerah. Pada PP ini, dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, dinyatakan bahwa kewenangan pusat adalah dalam hal penetapan standar kompetensi peserta didik dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya, dan penetapan standar materi pelajaran pokok. Berdasarkan hal itu, Departemen Pendidikan Nasional melakukan penyusunan standar nasional untuk seluruh mata pelajaran yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian (Departemen Pendidikan Nasional, 2004).

Adapun pengertian dari kurikulum pendidikan berbasis kompetensi adalah perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah (Departemen Pendidikan Nasional, 2004).

Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan (2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya (Departemen Pendidikan Nasional, 2004).

Rumusan kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten (Departemen Pendidikan Nasional, 2004).

Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Departemen Pendidikan Nasional, 2004) :

  1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.

  2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.

  3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.

  4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.

  5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

Implikasi penerapan pendidikan berbasis kompetensi adalah perlunya pengembangan silabus dan penilaian yang menjadikan peserta didik mampu mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan standar yang ditetapkan dengan mengintegrasikan life skill. Silabus adalah acuan untuk merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran, sedangkan penilaian mencakup indikator dan instrumen penilaiannya yang meliputi jenis tagihan, bentuk instrumen, dan contoh instrumen. Dalam hal ini banyak para pihak yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar seperti guru, kepala sekolah dan stakeholder lainnya yang terkait dengan dunia pendidikan merasa pesimis dengan pelaksanaan KBK, bahkan mereka berasumsi bahwa KBK tidak akan berhasil mencapai apa yang ditujunya.

Apapun tanggapan dari para pihak mengenai pelaksanaan KBK, kurikulum ini sangat menuntut kesiapan guru dan sekolah dalam menghadapi kurikulum tersebut. Dalam hal ini sebaik apapun sebuah kurikulum, jika tidak didukung oleh kesiapan guru dan sekolah, maka semua itu akan sia-sia. Padahal sosialisasi KBK belum merata ke seluruh guru, sehingga banyak guru yang masih belum memahami dengan baik apa dan bagaimana cara mengimplementasikan KBK, sehingga hasilnya masih sangat diragukan. Berkaitan dengan kenyataan tersebut seharusnya sebelum KBK dilaksanakan, harus ditingkatkan dulu kesiapan guru dan sekolah dalam melaksanakan KBK.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengetahui kesiapan guru dan sekolah dalam melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Madrasah Aliyah Negeri se-Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah yang dapat dikemukakan sehubungan dengan kesiapan guru dan sekolah dalam melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah sebagai berikut :

  1. Banyak para pihak yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar seperti guru, kepala sekolah dan stakeholder lainnya yang terkait dengan dunia pendidikan merasa pesimis dengan pelaksanaan KBK, bahkan mereka berasumsi bahwa KBK tidak akan berhasil mencapai apa yang ditujunya.
  2. Penerapan KBK sangat tergantung pada keberadaan sarana prasarana pendukung pelaksanaan KBK.
  3. Pemahaman guru akan implementasi KBK masih sangat kurang, sehingga hasil implementasinya masih sangat diragukan.
  4. Pelaksanaan KBK menghadapi banyak kendala dan tantangan terutama berkaitan dengan kesiapan guru dan sekolah dalam melaksanakan KBK.

C. Pembatasan Masalah

Karena keterbatasan waktu, tenaga dan dana yang dimiliki oleh penulis, maka penelitian ini dibatasi pada kesiapan guru dan sekolah dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana kesiapan guru dan sekolah dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi?
  2. Apa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi dan bagaimana cara mengatasi kendala tersebut?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui :

  1. Kesiapan guru dan sekolah dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi khususnya.
  2. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi dan bagaimana cara mengatasi kendala tersebut.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

  1. Dapat memberi masukan kepada tenaga pendidik dan sekolah dalam rangka menyiapkan diri untuk menyongsong pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi.
  2. Dapat memberi motivasi kepada pendidik untuk memberikan yang terbaik kepada peserta didik, karena pada dasarnya salah satu penentu keberhasilan penyempurnaan kurikulum adalah pendidik itu sendiri.
  3. Dapat memberikan masukan kepada para stakeholder pendidikan bahwa keberhasilan pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi sangat tergantung kepada partisipasi semua stakeholder dalam ikut serta mengatasi kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi.

G. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan studi empiris, yaitu penelitian terhadap sekolah-sekolah Madrasah Aliyah Negeri yang ada di Provinsi DIY dalam rangka mengetahui kesiapan guru dan sekolah dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi.

2. Metode pengumpulan data

a. Kuesioner

Kuesioner adalah cara memperoleh data dengan memberikan pertanyaan tertulis kepada responden yang telah dipersiapkan sebelumnya (Sumardjono, 1997: 42).

b. Wawancara

Wawancara adalah cara memperoleh data dengan melakukan tanya jawab secara langsung dengan responden (Singarimbun & Effendi, 1989: 134).

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah pengumpulan data yang bersumber dari pustaka-pustaka yang relevan dengan penelitian (Subagyo, 1990: 23).

3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru dan Kepala Sekolah Madrasah Aliyah yang ada di Provinsi DIY. Karena keterbatasan waktu, tenaga dan dana, maka dalam penelitian ini yang diteliti tidak seluruh populasi tetapi sampelnya saja. Adapun metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode purposive sampling, yaitu metode pengambilan sampel dengan cara memilih sampel secara cermat sehingga relevan dengan rancangan penelitian (Soeratno dan Arsyad, 1993: 119). Dalam penelitian ini sampelnya adalah guru dan Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Negeri di Provinsi DIY.

Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dihubungi responden sebagai berikut :

a. 100 orang guru Madrasah Aliyah di Provinsi DIY.

b. 5 orang Kepala Madrasah Aliyah di Provinsi DIY.

c. 20 orang siswa Madrasah Aliyah di Provinsi DIY (sebagai kontrol).

4. Metode analisis data

Data yang diperoleh dari penelitian, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik analisa data deskriptif kualitatif, yakni dengan memberikan interpretasi terhadap data yang diperoleh secara rasional dan obyektif, yang diatur, diurutkan dan dikelompokkan dengan memberikan kode dan mengkategorikan, kemudian menggambarkan hubungan antara variabel yang satu dengan variabel lain yang diteliti agar dapat menggambarkan fenomena tertentu secara lebih konkret dan terperinci (Singarimbun, 1995 : 45).

    Baca selengkapnya »

===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================

Judul terkait:

Keyword:

kurikulum KBK (92), studi kasus pendidikan (87), pelaksanaan kurikulum (41), kurikulum berbasis kompetensi (29), manajemen pendidikan berbasis kompetensi (27), peran guru dalam pengembangan kurikulum (26), guru dan pengembangan kurikulum (23), makalah kurikulum (23), pengertian kurikulum berbasis kompetensi (22), kesiapan (22)

Layanan Referensi & Konsultan Skripsi Tesis & Disertasi   No.HP/WA.0812 2701 6999  / 0817 273 509