KONFLIK DAN DAN PENYELESAIAN DALAM PERJANJIAN GADAI TANAH PADA MASYARAKAT ADAT BUGIS DI KECAMATAN LILIRIAJA KABUPATEN SOPPENG
Jul 5th, 2008 by admin4
BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang Masalah
Telah menjadi kenyataan bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, masyarakat selalu menempatkan biaya sebagai salah satu unsur pokok yang senantiasa dapat menutupi semua kebutuhan mereka, termasuk kebutuhan yang bersifat dadakan. Selain untuk menutupi kebutuhan keseharian masyarakat, biayapun menjadi suatu unsur penting untuk melakukan suatu kegiatan usaha dari segi permodalan.
Untuk menutupi kebutuhan biaya tunai yang sangat mendesak, masyarakat seringkali merasa kewalahan dan panik sehingga memungkinkan terjadinya berbagai hal yang diluar kendali mereka. Namun dalam komunitas masyarakat adat, kebutuhan tersebut dapat diselesaikan dengan beberapa cara termasuk melakukan kegiatan gadai tanah pertanian (grondsverpanding). Dengan cara tersebut mereka akan dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi sehubungan dengan kebutuhan biaya. Biaya yang dibutuhkan tersebut biasanya bersifat insidentil dan spontan. Oleh karena itu keberadaan lembaga gadai tanah merupakan suatu sarana penunjang dalam melanjutkan eksistensi suatu kelompok masyarakat.
Pada masyarakat adat yang ekonominya tergolong menengah hingga ke bawah, masih merasa sulit untuk mendapatkan pinjaman dana dari lembaga perbankan yang sifatnya kecil, konsumtif dan dengan waktu yang cepat. Kesulitan ini disebabkan karena lembaga perbankan sangat menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam menyalurkan kreditnya dengan prosedur yang cukup rumit, membutuhkan waktu dengan jaminan barang-barang tertentu.
Hal tersebut di atas menyebabkan masyarakat adat, khususnya golongan menengah ke bawah untuk tetap melakukan pinjaman dana kepada perorangan dengan cara menggadaikan tanahnya kepada si peminjam uang. Selain itu pula, dipilihnya cara dengan menggadaikan tanah untuk mendapatkan pinjaman dana dikarenakan belum adanya kepastian waktu mengenai pengembalian uang pinjaman.
Hak gadai tanah merupakan salah satu hak atas tanah yang bersifat sementara. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria bahwa:
“ Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat. “
Selanjutnya ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian mengatur bahwa:
“ Barang siapa yang menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu di mulai berlakunya peraturan ini (29 Desember 1960) sudah berlangsung 7 (tujuh) tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai di panen dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.”
Adanya upaya penghapusan gadai tanah oleh ketentuan di atas, menurut Harsono (1983: 722) dengan mengemukakan bahwa:
a. Untuk menghilangkan unsur yang bersifat pemerasan dari pada gadai, Undang-undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 (LN. Tahun 1960 No. 174) menentukan dalam Pasal7, bahwa tanah-tanah pertanian yang sudah digadai selama 7 tahun atau lebih harus di kembalikan kepada yang empunya, tanpa kewajiban untuk membayar uang tebusan;
b. Ketentuan tersebut sub a itu berdasarkan kenyataan bahwa sebenarnya hasil tanah yang diterima oleh pemegang gadai tanah pertanian jauh melebihi bunga yang layak dari pada uang yang diterima oleh yang empunya tanah;
c. Kenyataan tersebut sub b berlaku juga bagi tanaman-tanaman keras, sebagai pohon kelapa, pohon buah-buahan dan sebagainya, yang digadaikan berikut atau tidak berikut tanahnya dan karena itu ketentuan tersebut sub a seharusnya berlaku juga bagi gadai tanaman keras.
Lebih lanjut dikemukakan pula pendapat A.P Parlindungan (1989: 192) bahwa :
“Undang-undang No 56 Prp. 1960 dengan jelas telah meniadakan lembaga hukum adat tersebut, oleh karena dirasakan dalam suatu masyarakat modern, seyogianya meminjam uang tidak terjadi dengan “pemerasan”. Oleh karena pemilik semula setelah menggadai tanahnya telah tidak berkuasa lagi atas tanahnya dan yang menerima gadai menikmati secara berkelebihan dari penggadai tanah tersebut.”
Berdasarkan ketentuan dan uraian yang dikemukakan di atas, maka dapat dikemukakan bahwa sifat sementara hak gadai dikaitkan dengan upaya menghindari adanya unsur-unsur pemerasan dalam pelaksanaan gadai tanah. Oleh karena itu, hak gadai diupayakan untuk dihapuskan. Sehubungan dengan adanya ketentuan tersebut, pelaksanaan gadai tanah pada masyarakat hingga saat ini masih tetap dilakukan dan diakui keberadaannya.
Ketentuan mengenai kewajiban untuk mengembalikan tanah yang digadaikan kepada pemberi gadai tanpa adanya uang tebusan setelah 7 (tujuh) tahun dikuasai oleh pemegang gadai telah diatur dalam ketentuan Pasal7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960. Hal tersebut merupakan suatu hal yang wajar apabila tanah yang dikerjakan oleh pihak pemegang gadai telah banyak dinikmati hasilnya yang melebihi dari jumlah piutang yang diberikannya kepada pemberi gadai.
Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor: HP. 0819 0405 1059/ 0812 2701 6999/ 0888 9119 100 atau Telp.0274-9553376. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :) |
Ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tidak mengatur lebih lanjut dan tegas mengenai ketentuan apabila tanah yang digadaikan merupakan tanah kosong yang tidak produktif atau gadai tanah hanya berupa sebagian luas pekarangan. Merupakan suatu hal yang tidak wajar apabila tanah yang digadaikan itu dikembalikan begitu saja tanpa penebusan, sedangkan tanah yang digadaikan itu hanya sebagai jaminan pelunasan utang pemberi gadai.
Konflik seperti yang dikemukakan tersebut di atas menyulitkan pemberi pinjaman sebagai pemegang gadai dalam pengembalian pinjaman, dikarenakan pemegang gadai tidak mempunyai kepastian hukum seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah bahwa apabila debitur cedera janji, maka pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan dari hasil penjualan tersebut.
Pada masyarakat adat Bugis di Kecamatan Liliriaja Kabupaten Soppeng, pelaksanaan perjanjian gadai tanah merupakan perbuatan yang dilandasi oleh rasa saling tolong menolong sesama anggota masyarakat adat. Perjanjian gadai tanah pada masyarakat adat bugis di Kecamatan Liliriaja Kabupaten Soppeng dilakukan tidak dengan tertulis atau suatu alat bukti, sehingga memungkinkan terjadinya suatu konflik gadai yang perlu mendapat perhatian oleh berbagai kalangan, terutama pemerintah setempat.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya konflik dalam pelaksanaan perjanjian gadai tanah pada masyarakat adat Bugis di Kecamatan Liliriaja Kabupaten Soppeng ?
b.Bagaimanakah cara penyelesaian konflik dari pelaksanaan perjanjian gadai tanah pada masyarakat adat Bugis di Kecamatan Liliriaja Kabupaten Soppeng?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai gadai tanah memang telah sering dilakukan oleh para peneliti, namun penelitian mengenai konflik dan penyelesaian dalam perjanjian gadai tanah pada pada masyarakat adat bugis di Kecamatan Liliriaja Kabupaten Soppeng belum pernah dilakukan oleh peneliti lain, dengan demikian penulis berpendapat bahwa penelitian ini adalah asli. Namun demikian sekiranya pernah dilakukan penelitian yang sama, penulis harapkan penelitian ini dapat melengkapinya.
3. Faedah Penelitian
Adapun faedah yang diharapkan dari penelitian ini yaitu:
a.Hasil penelitian ini diharapkan bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pertanahan pada khususnya, yakni dalam hal konflik dan penyelesaian dalam perjanjian gadai tanah pada masyarakat adat Bugis di Kecamatan Liliriaja Kabupaten Soppeng.
b.Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam rangka pembentukan hukum pertanahan nasional.
c.Sebagai masukan dan bahan kepustakaan bagi penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan perjanjian gadai tanah.
B. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan seperti yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian mengenai adanya konflik dan penyelesaian dalam perjanjian gadai tanah pada masyarakat adat Bugis di Kecamatan Liliriaja Kabupaten Soppeng adalah sebagai berikut:
- Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya konflik dalam pelaksanaan perjanjian gadai tanah pada masyarakat adat Bugis di Kecamatan Liliriaja Kabupaten Soppeng ;
- Untuk mengetahui cara penyelesaian konflik yang ditempuh dalam perjanjian gadai tanah pada masyarakat adat Bugis di Kecamatan Liliriaja Kabupaten Soppeng.
- Baca selengkapnya »
===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================