PEDAGANG KAKI LIMA DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JALAN SEPANJANG SELOKAN MATARAM DI KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA
Jul 5th, 2008 by admin4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ratusan Pedagang Kaki Lima Selokan Mataram (PKL SM) yang tergabung dalam Kelompok Pengusaha Kecil Selokan Mataram (KPKSM), secara tegas menolak rencana penggusuran yang akan dilakukan Pemkab Sleman. Melalui 40 perwakilan KPKSM yang mengadukan masalah tersebut ke DPRD Sleman, Rabu (22/10), mereka meminta agar rencana penggusuran itu ditinjau kembali (Kedaulatan Rakyat, 23 Oktober 2003).
“Kami tak ingin digusur, tapi ditata sesuai dengan kehendak Pemkab Sleman.” Demikian diungkapkan ratusan Pedagang Kaki Lima (PKL) Selokan Mataram, menyusul makin dekatnya, ancaman penggusuran terhadap lahan perekonomian yang selama ini menjadi ‘dapur’ untuk menghidupi keluarganya. Jika pemerintah tetap nekat, maka seluruh pedagang menyatakan secara kompak akan mempertahankan (Kedaulatan Rakyat, 23 Oktober 2003).
Pembangunan merupakan sarana untuk menuju perbaikan kualitas kehidupan bangsa secara bertahap. Pembangunan mempunyai tujuan mulia untuk meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi manakala pembangunan itu menyentuh kepentingan rakyat kecil yang terpaksa harus dikorbankan untuk kepentingan pembangunan, maka pembangunan itu akan mendapat tantangan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan. Itulah yang terjadi pada rencana pembangunan jalan alternatif di sepanjang Selokan Mataram Kabupaten Sleman Yogyakarta.
Tantangan pembangunan Selokan Mataram itu terjadi karena dengan adanya pembangunan tersebut akan mematikan potensi ekonomi dari sejumlah masyarakat kelas menengah ke bawah yang selama ini mencari penghidupan dengan berjualan di sepanjang Selokan tersebut. Mereka mencari sesuap nasi untuk menghidupi diri dan keluarganya.
Jika ditilik ke belakang, keberadaan warung-warung di seputaran Selokan Mataram, punya sejarah panjang. Awalnya, sebuah tuntutan para mahasiswa yang menghendaki warung makan dekat dan murah. Nampaknya peluang bisnis kecil-kecilan itu mendapat sambutan hangat masyarakat di seputaran Selokan Mataram.
Sejak saat itulah, muncul tenda-tenda sederhana sebagai perwujudan warung makanan jadi, yang kemudian berkembang menjadi bangunan semi permanen. Namun dalam upaya pengembangan wilayah itu, mulai mendapat sorotan Pemerintah Kabupaten Sleman. Dengan maksud akan dilakukan penataan, meluncur ditertibkannya surat perintah penggusuran terhadap para pedagang. Tapi ternyata rencana penggusuran itu mendapat perlawanan dari para pedagang. Mereka menyatakan, dalam krisis seperti saat ini sangat tidak tepat mengusir paksa di lahan yang menjadi tumpuan untuk menghidupi anak istri mereka.
Menurut pihak Pemda Kabupaten Sleman bagi pemilik warung yang membongkar sendiri bangunan miliknya akan diberikan uang ganti rugi sebesar Rp 300.000,00 akan tetapi bagi mereka yang tidak mau membongkar sendiri dan dibongkar paksa oleh petugas tidak akan mendapatkan ganti kerugian tersebut. Oleh sebab itu, situasi di sepanjang Selokan Mataram tetap biasa. Hingga Jumat (24/10), semua pedagang tetap membuka warung-warungnya untuk memberikan pelayanan bagi mahasiswa. Padahal batas akhir, bagi para pedagang untuk minggir dari lahan itu, Minggu (26/10) (Kedaulatan Rakyat, 25 Oktober 2003).
Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor: HP. 0819 0405 1059/ 0812 2701 6999 atau Telp.0274-9553376. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :) |
Para pedagang yang tergabung dalam Kelompok Pengusaha Kecil Selokan Mataram tidak menginginkan adanya tindakan anarkis pada Minggu 26 Oktober. ”Bila hal itu sampai terjadi kami tidak tinggal diam,” tandas sejumlah anggota KPKSM saat mengadu ke DPRD Sleman beberapa waktu lalu (Kedaulatan Rakyat, 25 Oktober 2003). Oleh karena itulah warung-warung mahasiswa itu belum ada satupun yang dibongkar oleh pemiliknya sendiri. Bahkan tiga spanduk besar dibentangkan, dalam spanduk tersebut tertulis penolakan penggusuran itu. ”Kami tak mau digusur, tapi ditata. Sebab jika alasan karena kumuh bukan dengan jalan menggusur,” ungkap para pedagang.
Akan tetapi konflik tidak berhenti sampai di situ, pihak Pemda Kabupaten Sleman, khususnya Bupati Kabupaten Sleman pada suatu kesempatan, menegaskan sikapnya untuk tidak mau memenuhi keinginan para PKL. Sebab persoalan PKL sudah diserahkan pada instansi terkait yang tinggal melaksanakan kebijakan yang diambil Pemkab Sleman. Ditambahkan, para PKL harus menyadari bahwa untuk kepentingan pembangunan Selokan Mataram itu banyak sekali yang dikorbankan (nenek moyang) warga Sleman. Oleh karena itu sudah sepantasnya mereka kini menerima jerih payah pengorbanan nenek moyangnya dengan menikmati jalan tepi Selokan yang nyaman dan aman (Kedaulatan Rakyat, 28 Oktober 2003).
Lebih lanjut ditambahkan bahwa yang harus disalahkan dalam kasus penyalahgunaan tanah sepanjang Selokan adalah Dinas Pengairan DIY. Sebab sebagai instansi yang pada awalnya mengelola Selokan, mereka tidak memberi penjelasan pada masyarakat tentang fungsi jalan inspeksi tersebut. Bahkan mereka tidak mengamankan jalan inspeksi tersebut sehingga akhirnya digunakan para PKL untuk berjualan (Kedaulatan Rakyat, 28 Oktober 2003).
Di pihak para PKL sendiri tetap tidak mau digusur dengan alasan bahwa apa yang dilakukan para PKL sebagai anak bangsa tersebut sekadar mencoba melakukan aktivitas untuk mencari nafkah. Hal ini diketahui dari wawancara awal yang dilakukan dengan beberapa PKL yang berada di sepanjang jalan Selokan Mataram. Menurut mereka keberadaan para PKL telah membantu pemerintah mengurangi pengangguran karena tersedianya lapangan pekerjaan yang mereka ciptakan. Mereka juga bisa menekan praktik rentenir dengan berdirinya sebuah koperasi. ”Selain itu keberadaan PKL ternyata mampu mencegah tindak kejahatan yang sebelumnya marak di sepanjang jalan Selokan Mataram tersebut,” ungkap para PKL.
Walaupun ada tentangan dari para pedagang kaki lima tentang kebijakan pembangunan jalan di sepanjang Selokan Mataram, akan tetapi Pemerintah Daerah selaku “penguasa” tetap memiliki kekuasaan untuk melaksanakan kehendaknya. Hal ini terbukti dari pembangunan jalan di sepanjang Selokan Mataram sudah mulai dilakukan (Kedaulatan Rakyat, 2 Desember 2003). Bersamaan dengan dimulainya pembangunan jalan itu, satu per satu para PKL yang tadinya masih bertahan di sepanjang jalan Selokan Mataram mulai tergusur dengan sendirinya. Hal ini dikarenakan mereka tidak mempunyai tempat lagi untuk menggelar dagangan seperti biasa. Di lain pihak belum tampak adanya kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman mengenai kemana para PKL itu harus direlokasi. Karena itulah mereka kini baik secara individual maupun secara kelompok, berusaha mencari tempat lain yang dapat menggantikan tempat mereka untuk kembali berdagang seperti biasa.
Para PKL yang tergusur ada yang berasal dari Yogyakarta dan ada yang berasal dari luar kota Yogyakarta. PKL yang berasal dari dalam kota Yogyakarta dapat cepat mencari tempat untuk kembali berdagang seperti biasa karena mereka memahami situasi dan keadaan kota Yogyakarta. Akan tetapi PKL yang berasal dari luar kota kesulitan untuk mendapatkan tempat baru, mereka belum mengetahui situasi dan kondisi kota Yogyakarta yang cocok untuk tempat berdagang mereka.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dirumuskan masalah sebagai berikut :
- Bagaimana latar belakang sosial budaya pedagang kaki lima sepanjang Selokan Mataram?
- Bagaimanakah pandangan pedagang kaki lima sepanjang Selokan Mataram terhadap kebijakan pembangunan jalan sepanjang Selokan Mataram?
- Bagaimanakah cara pandang penyelesaian masalah terhadap kebijakan pembangunan jalan sepanjang Selokan Mataram?
- Baca selengkapnya »
===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================