Did You Know? The first couple to be shown in bed together on prime time television were Fred and Wilma Flintstone.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang bermacam-macam. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus berusaha dengan cara bekerja. Bekerja dapat dilakukan sendiri tanpa harus bekerja pada orang lain, misalnya dengan berwiraswasta. Untuk berwiraswasta dibutuhkan modal kerja. Untuk mendapatkan modal kerja tersebut ada berbagai cara yang dapat ditempuh, di antaranya adalah dengan meminjam kepada pihak lain.

Adanya hubungan pinjam-meminjam tersebut diawali dengan pembuatan kesepakatan antara peminjam (debitur) dan yang meminjamkan (kreditur) yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. Perjanjian tersebut dapat berupa perjanjian lisan dapat pula dalam bentuk perjanjian tertulis. Perjanjian utang-piutang dalam perjanjian tertulis ada yang dibuat dengan akta di bawah tangan, ada pula yang dibuat dengan akta notaris.

Perjanjian utang piutang antara debitur dan kreditur dituangkan dalam perjanjian kredit. Perjanjian kredit memuat hak dan kewajiban dari debitur dan kreditur. Perjanjian kredit diharapkan akan membuat para pihak yang terikat dalam perjanjian memenuhi segala kewajibannya dengan baik. Namun di dalam perjanjian pinjam-meminjam tersebut ada kalanya salah satu pihak tidak memenuhi perjanjian sesuai dengan yang telah disepakati bersama.

Perjanjian kredit hendaknya dibuat secara tertulis karena dengan bentuknya yang tertulis akan lebih mudah untuk dipergunakan sebagai bukti apabila dikemudian hari ada hal-hal yang tidak diinginkan. Di dalam hukum perdata, bukti tertulis merupakan bukti utama. Dengan dituangkannya perjanjian ke dalam bentuk tertulis, maka masing-masing pihak akan mendapat kepastian hukum terhadap perjanjian yang dibuatnya.

Apabila di dalam hubungan perutangan debitur tidak memenuhi prestasi secara suka rela, kreditur mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan piutangnya bila hutang tersebut sudah dapat ditagih, yaitu terhadap harta kekayaan debitur yang dipakai sebagai jaminan. Hak pemenuhan dari kreditur itu dilakukan dengan cara menjual benda-benda jaminan dari debitur, yang kemudian hasil dari penjualan tersebut digunakan untuk memenuhi hutang debitur.[1]

Untuk dapat melaksanakan pemenuhan haknya terhadap benda-benda tertentu dari debitur yang dijaminkan tersebut yaitu dengan cara melalui eksekusi benda jaminan maka kreditur harus mempunyai alas hak untuk melakukan eksekusi melalui penyitaan eksekutorial.

Syarat adanya titel eksekutorial ini diadakan demi perlindungan bagi kreditur terhadap perbuatan yang melampaui batas dari debitur. Titel eksekutorial dapat timbul berdasarkan putusan hakim yang dibuat dalam bentuk eksekutorial yang memutuskan bahwa debitur harus membayar sejumlah pembayaran tertentu atau prestasi tertentu, atau dapat juga berdasarkan akta notaris yang sengaja dibuat dalam bentuk eksekutorial, dalam bentuk grosse akta. Menurut ketentuan undang-undang grosse dari akta notaris mempunyai kekuatan eksekutorial. Di mana di dalam akta itu dimuat pernyataan pengakuan hutang sejumlah uang tertentu dari debitur kepada kreditur.

Semakin lajunya pertumbuhan kehidupan dunia bisnis dan industri menuntut segala sesuatu yang cepat dan praktis tetapi mempunyai kekuatan hukum yang kuat, termasuk dalam segi hutang-piutang. Oleh karena itu kesepakatan mengenai hutang-piutang tidak hanya cukup dituangkan di dalam perjanjian tertulis tetapi perlu dituangkan dalam sebuah grosse akta pengakuan hutang.

Maksud dituangkannya di dalam grosse akta pengakuan hutang adalah supaya apabila debitur wanprestasi, maka kreditur hanya tinggal mengajukan permohonan pelaksanaan grosse akta pengakuan hutang tersebut kepada Pengadilan Negeri dan bukan mengajukan gugatan, untuk mendapatkan pemenuhan atas piutangnya tersebut. Biasanya ketika meminjamkan uangnya, kreditur menginginkan adanya jaminan untuk mendapatkan kembali pemenuhan piutangnya. Oleh karena itu, dalam praktek sering diadakan grosse akta pengakuan hutang yang dibuat di depan dan oleh Notaris yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan dapat dipergunakan pihak kreditur untuk menagih piutangnya manakala pihak debitur lalai membayar hutangnya. Grosse akta tersebut tidak perlu dibuktikan, sehingga harus dianggap benar apa yang tercantum di dalamnya, kecuali jika ada bukti lawan.[2]

Hal tersebut dimungkinkan karena di dalam grosse akta pengakuan hutang itu oleh notaris dibuat dengan kepala “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Dengan adanya kata-kata tersebut maka grosse akta mempunyai titel eksekutorial yang dipersamakan dengan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dasar hukum dari ketentuan tersebut di atas terdapat di dalam Pasal 224 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) yang berbunyi:[3]

Suatu grosse akta hipotek dan surat hutang yang dibuat di hadapan Notaris di Indonesia yang kepalanya memakai perkataan “Atas Nama Seri Baginda Raja” berkekuatan sama dengan putusan Hakim. Jika terjadi pelanggaran atas grosse akta dan surat hutang tersebut, maka dapat langsung dimintakan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berada di wilayah hukum perjanjian itu dibuat atau di Pengadilan Negeri lain sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan para pihak. Dalam hal terakhir ini jika maka diturutlah peraturan pada Pasal 195 ayat kedua dan yang berikutnya.

Perkataan “Atas Nama Seri Baginda Raja” sesuai dengan apa yang dimuat dalam Pasal 6 Undang-undang Darurat Nomor 51 Tahun 1951 harus dibaca “Atas Nama Keadilan”. Serta menurut Undang-undang Pokok Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970, yang sampai sekarang masih berlaku, ketentuan tersebut harus dibaca “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dari ketentuan Pasal 224 HIR di atas dapat disimpulkan bahwa grosse akta pengakuan hutang dan grosse akta hipotek yang memakai kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mempunyai kedudukan yang istimewa dalam penyelesaian hutang karena berkekuatan sama seperti vonis Hakim. Keistimewaan grosse akta tersebut adalah dalam proses penyelesaian suatu perjanjian hutang dimana tidak melalui proses yang lazim dan umum yang harus ditempuh perihal mengadili perkara perdata yang harus diperiksa oleh Pengadilan Negeri seperti yang tercantum dalam Pasal 118 HIR.

Dalam grosse akta tersebut telah melekat kekuatan eksekutorial, yang selanjutnya apabila debitur lalai untuk memenuhi kewajibannya maka kreditur terbuka jalan untuk mengajukan permohonan eksekusi grosse akta kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana debitur diam atau tinggal atau tempat kedudukan yang telah dipilih dalam akta (Pasal 118 ayat (1) jo. ayat (4) HIR).

Dalam suasana perekonomian yang stabil dan menanjak, ikatan perkreditan yang dituangkan dalam grosse akta jarang sekali berakhir dengan tindakan eksekusi penjualan lelang. Hal ini dikarenakan pada suasana kehidupan perekonomian stabil dan menanjak para debitur selalu mampu menunaikan penyelesaian pembayaran kreditnya kepada pihak kreditur. Akan tetapi lain halnya dalam keadaan kelesuan dunia perekonomian seperti yang terjadi pada masa sekarang ini. Timbul gejala bahwa pihak debitur tidak sanggup membayar hutangnya yang dapat dibuktikan dengan fakta tentang banyaknya permintaan executorial verkoop dari pihak kreditur terutama di kota-kota besar yang tergolong pusat-pusat kegiatan bisnis dan industri. Hampir setiap hari ada permintaan eksekusi berdasar Pasal 224 HIR. Gejala dan fakta derasnya arus permintaan eksekusi tersebut atas pengakhiran perjanjian kredit berdasar Pasal 224 HIR memberi bukti bahwa kelesuan perekonomian telah mengakibatkan kegagalan dan ketidakmampuan pihak debitur memenuhi kewajibannya melunasi pembayaran hutang. Akibat hukumnya para debitur yang demikian berada pada kategori wanprestasi yang memberi hak dan kewenangan bagi pihak kreditur untuk menyeret pihak debitur ke dalam ancaman eksekusi penjualan lelang atau execution berdasar Pasal 224 HIR, karena perjanjian kreditnya dituangkan dalam grosse akta.[4]

Terlepas dari pembicaraan tentang adanya kaitan pemanfaatan Pasal 224 HIR dengan laju pertumbuhan ekonomi, bisnis dan industri pada satu pihak dan keleluasaan kehidupan perekonomian pada pihak lain, penerapan Pasal 224 HIR dalam prakteknya sering menimbulkan masalah. Kerumitan pelaksanaan Pasal 224 HIR dalam prakteknya disebabkan beberapa faktor, antara lain faktor kelicikan mengulur waktu dari pihak debitur, ada pula faktor kecurangan yang dilakukan pihak kreditur seperti kecurangan tidak memasukkan pembayaran yang dilakukan debitur dalam rekening pembukuan. Namun faktor kendala yang paling banyak ditemukan adalah hal-hal yang berkenaan dengan pembuatan dokumen-dokumen grosse akta yang bersangkutan. Padahal bagi pengadilan dan secara yuridis syarat formal keabsahan setiap grosse akta merupakan esensi keabsahan grosse akta untuk dapat disamakan eksistensinya sebagai putusan yang mengandung nilai, mempunyai kekuatan eksekusi yang dapat dijalankan eksekusinya. Berdasarkan pengamatan, kekeliruan pembuatan dokumen grosse akta kebanyakan disebabkan kekurangpersisan memahami dan mendudukkan bentuk grosse akta yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR. Tidak berlebihan dikatakan jika hampir semua grosse akta yang dijumpai sering mencampuradukkan antara grosse akta hipotik dengan grosse akta pengakuan hutang. Akibatnya grosse akta yang diajukan merupakan grosse akta yang tidak jelas bentuknya.

Salah satu masalah lagi yang sering menjadi kendala executorial verkoop atas grosse akta adalah mengenai kesulitan untuk mengeksekusi barang jaminan dikarenakan danya perlawanan dari pihak debitur. Hal yang diuraikan di atas juga dialami oleh PT Bank Artha Graha Cabang Denpasar yang mempunyai piutang terhadap Ny. Oelisa Mariana yang ketika akan dieksekusi grosse aktanya mengalami masalah yang cukup pelik, sehingga akhirnya terpaksa diselesaikan di Pengadilan Negeri Denpasar. Pada dasarnya masalah yang dihadapi PT Bank Artha Graha dalam mengeksekusi grosse akta pengakuan hutangnya adalah pihak debitur merasa keberatan dengan adanya eksekusi grosse akta pengakuan hutang yang diajukan oleh PT Bank Artha Graha kepada Pengadilan Negeri Denpasar. Padahal di dalam perjanjian kredit, jika debitur melakukan wanprestasi, maka kreditur berhak untuk mengeksekusi barang jaminan milik debitur. Adanya perlawanan dari pihak debitur ini merugikan pihak kreditur, karena semakin lama barang jaminan tidak dieksekusi, maka kerugiannya akan semakin besar.

Berkaitan dengan uraian di atas, maka Penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut dan menuliskan hasilnya dalam skripsi berjudul :

PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN DI BANK ARTHA GRAHA CABANG DENPASAR BALI.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belalang masalah di atas, maka diangkat permasalahan sebagai berikut :

  1. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan di Bank Artha Graha?
  2. Bagaimanakah penyelesaian sengketa dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh debitur Bank Artha Graha?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah :

  1. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan di Bank Artha Graha Cabang Denpasar Bali.
  2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh debitur Bank Artha Graha Cabang Denpasar Bali.

D. Tinjauan Pustaka

Kata kredit bukan lagi kata yang asing bagi anggota masyarakat. Oleh karena itu selain pengertian kredit menurut peraturan perundang-undangan, setiap orang mempunyai pendapat sendiri mengenai pengertian kredit sesuai dengan tingkat pemikirannya masing-masing.

Terdapat perbedaan pengertian kredit antara kalangan masyarakat awam dengan kalangan pelaku bisnis. Kata kredit di kalangan masyarakat awam secara sederhana diartikan sebagai pembelian sesuatu barang/benda tertentu dengan membayar secara dicicil. Sementara itu dikalangan pelaku bisnis, atau kaum industriawan, kata kredit lebih dikenal sebagai pemberian sejumlah uang tertentu oleh suatu bank kepada pihak lain yang memerlukannya untuk keperluan usahanya, dimana pihak lain akan melunasinya dalam pihak tertentu dengan membayar sejumlah bunga yang telah ditentukan.[5]

Perkataan kredit berasal dari bahasa latin “credere” yang berarti kepercayaan.[6] Berpijak dari sini, maka dapat diketahui bahwa dasar pemberian kredit adalah kepercayaan. Oleh karena itu seseorang yang memperoleh kredit berarti ia telah mendapat kepercayaan dari bank. Memang kepercayaan merupakan dasar bagi pemberian kredit kepada nasabah.

Menurut Muchdarsyah Sinungan, pengertian kredit adalah:

Suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu pada waktu yang akan datang dengan kontra prestasi berupa bunga. [7]

Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor:

HP. 0819 0405 1059/ 0812 2701 6999 atau Telp.0274-9553376. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :)

Di lain pihak, Levy merumuskan kredit sebagai:

Peristiwa menyerahkan secara suka rela sejumlah uang dipergunakan secara bebas oleh si penerima kredit, penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu di belakang hari.[8]

Dalam melakukan usahanya bank berasaskan demokrasi ekonomi dengan prinsip kehati-hatian. Sehubungan dengan pelaksanaan prinsip kehati-hatian, maka dalam memberikan kredit bank tidak sembarangan. Ada kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi debitur. Kriteria-kriteria itu ada lima, yang disebut dengan lima analisis kredit (The Five’s Of Credit Analysis). Kelima kriteria itu adalah sebagai berikut:[9]

a. Watak (character)

Watak debitur yang dinilai adalah kepribadian, moral dan kejujuran dalam mengajukan permohonan kredit, karena debitur yang berwatak buruk tidak dapat dipercaya, padahal syarat pemberian kredit yang utama adalah kepercayaan.

b. Kemampuan (capacity)

Kemampuan yang dinilai adalah kemampuan debitur dalam mengembalikan, memimpin dan menguasai bidang usahanya serta kemampuannya melihat prospek masa depan sehingga usaha permohonan yang dibiayai dengan kredit itu berjalan baik dan menguntungkan.

c. Modal (capital)

Sebelum mengajukan permohonan kredit kepada bank, pemohon diwajibkan telah memiliki modal sendiri dan bukan bergantung sepenuhnya kepada kredit bank. Di sini kredit dari bank hanya bersifat melengkapi dan bukan pokok.

d. Kondisi ekonomi (conditional of economic)

Kondisi ekonomi di sini adalah kondisi ekonomi pemohon untuk mengetahui apakah dengan kondisi ekonominya yang sekarang pemohon memiliki kesanggupan untuk mengembalikan pinjamannya.

e. Jaminan (collateral)

Jaminan disini berarti kekayaan yang dapat dikaitkan sebagai jaminan guna kepastian pelunasan dikemudian hari jika penerima kredit tidak melunasi hutangnya.[10]

Jika bank menilai bahwa seorang calon debitur telah memenuhi kriteria di atas, barulah bank mau memberikan kredit yang diminta debitur tersebut.

Ketika debitur melakukan permohonan kredit biasanya disertai dengan jaminan. Jaminan ini berfungsi sebagai pegangan bagi bank apabila debitur tidak dapat menyelesaikan kreditnya, maka bank berhak untuk menjual barang jaminan yang diberikan debitur sebagai pelunasan hutangnya. Jika hasil penjualan itu melebihi hutang debitur maka sisanya dikembalikan kepada debitur yang bersangkutan.

Untuk mendapatkan kredit dari bank, nasabah perlu membuat suatu perjanjian kredit. Sebagai salah satu bentuk perjanjian, hal-hal yang berlaku pada perjanjian pada umumnya berlaku juga pada perjanjian kredit, seperti asas-asas perjanjian, syarat sah perjanjian, wanprestasi dan overmacht, serta hal-hal yang mengakhiri perjanjian.

Perjanjian yang dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit wajib disertai dengan suatu jaminan yang merupakan pasangan dari perjanjian kredit. Dasar dari pemberian kredit adalah unsur kepercayaan dari pihak pemberi kepada penerima kredit, bahwa kredit akan dapat dikembalikan pada jangka waktu yang telah ditetapkan dan dengan jumlah yang telah diperjanjikan. Dengan adanya jaminan kredit maka semakin kuatlah kepercayaan yang diberikan bank akan kemampuan membayar kembali debiturnya. Selain memuat tentang jaminan kredit, perjanjian kredit memuat pula ketentuan mengenai bunga, sanksi bagi kredit tertunggak, dan lain-lain.

Salah satu benda tetap yang sering dijadikan objek jaminan utang adalah tanah. Dalam perkembangan terbaru, dengan keluarnya Undang-undang Hak Tanggungan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, maka semua benda yang berkaitan dengan jaminan utang atas tanah diatur dalam Undang-undang ini.

Dalam prakteknya, kreditur sering kali melengkapi perjanjian kredit dengan grosse akta pengakuan hutang guna memperkuat kedudukannya dalam meminta kembali pinjaman yang diberikannya kepada debitur. Selain itu eksekusi pembayaran hutang dapat lebih cepat karena dengan adanya grosse akta pengakuan hutang, maka kreditur dapat langsung mengeksekusi jaminan debitur tanpa perlu menunggu putusan hakim. Bagi kreditur hal ini lebih menguntungkan, karena semakin lama jaminan tidak dieksekusi, kerugian yang akan diderita kreditur akibat wanprestasi debitur akan semakin besar.

Dalam pelaksanaan perjanjian krdit serring

E. Metode Penelitian

1. Objek penelitian

Pelaksanaan Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan di Bank Artha Graha Cabang Denpasar Bali.

2. Subjek penelitian

Subjek penelitian ini adalah:

a. Hakim Pengadilan Negeri Denpasar Bali

b. Para pihak yang bersengketa, yaitu Bank Artha Graha Cabang Denpasar Bali dan debitur.

3. Sumber data

a. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dengan mengadakan wawancara langsung dengan responden.

b. Sumber data sekunder, terdiri dari:

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersumber pada

peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a) Het Indische Reglement (HIR).

b) Reglement op het Staatsblaad 1847 Nomor 23, diterjemahkan Peraturan Jabatan Notaris.

c) Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

d) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.

e) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

2) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku-buku, hasil penelitian, karya ilmiah, dan putusan pengadilan yang relevan dengan penelitian ini. Adapun putusan pengadilan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 62/Pdt.G/2001/PN.Dps.

3) Bahan hukum tertier

Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu berupa kamus umum, kamus hukum, majalah, dan jurnal-jurnal ilmiah di bidang hukum.

4. Teknik pengumpulan data

Dalam melakukan penelitian digunakan alat penelitian sebagai berikut :

a. Wawancara

Wawancara adalah cara penelitian dengan mengadakan tanya jawab

secara langsung kepada narasumber.[11] Hasil wawancara ini berupa data primer. Adapun pihak yang diwawancarai adalah Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang memutus perkara.

b. Studi pustaka

Studi pustaka adalah pengumpulan data dengan cara membaca dan mengutip teori-teori yang berasal dari buku dan tulisan-tulisan lain yang relevan dengan penelitian ini.

5. Metode pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis sosiologis, yaitu penelitian yang menggambarkan tentang problematika pelaksanaan perjanjian kredit di dalam masyarakat, kemudian dianalisis dengan membandingkan antara tuntutan nilai-nilai ideal yang ada dalam peraturan perundang-undangan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Dari penelitian ini dapat diketahui kesenjangan yang terjadi antara das sollen dengan das sein.

6. Analisis data

Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif (content analysis) dengan langkah-langkah sebagai berikut: [12]

a. Data penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan penelitian.

b. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan.

c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan.


[1] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hlm. 34.

[2] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm. 89.

[3] Tresna, R., Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984, hlm. 67.

[4] Yahya M. Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia, Jakarta, 1989, hlm 112.

[5] Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 240.

[6]Bambang Sunggono, Pengantar Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 127.

[7] Muchdarsyah Sinungan, Kredit, Seluk-beluk dan Pengelolaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1980, hlm. 12.

[8] Levy dalam Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 24.

[9] Ibid., hlm. 56-59

[10] Ibid.

[11] Sutrisno Hadi, Metode Penelitian Skripsi, Tesis dan Karya Ilmiah Lainnya, Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm. 23.

[12] Anonim, Pedoman Penulisan Proposal Skripsi dan Skripsi Fakultas Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2003, hlm. 5.

    Baca selengkapnya »

===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================

Judul terkait:

Keyword:

pengertian hak tanggungan (23), hukum perjanjian kredit dan jaminan (20), makalah lelang (15), 224 hir (14)

Layanan Referensi & Konsultan Skripsi Tesis & Disertasi   No.HP.0819.0405.1059  Home: (0274) 9553376