PERANAN DPRD DALAM MEMBAHAS DAN MENINDAKLANJUTI LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN WALIKOTA KENDARI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999
Jul 4th, 2008 by admin3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu gema reformasi adalah sekitar penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama yang berkaitan dengan kedudukan kepala daerah dan optimalisasi peran DPRD sebagai penyalur aspirasi rakyat di daerah. Sebagaimana diketahui menguatnya peran kepala daerah atau eksekutif di satu pihak dan melemahnya peran DPRD di pihak lain dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut berbagai kepentingan merupakan salah satu alasan untuk mencabut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pada era reformasi sekarang ini. Pencabutan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 diawali oleh Sidang Istimewa MPR yang diselenggarakan pada bulan November 1998 dengan dikeluarkannya berbagai ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, diantaranya adalah :
- TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
- TAP MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menjelang Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1999, telah dilakukan berbagai usaha dalam bidang hukum, yaitu diantaranya adalah mencabut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan sebagai gantinya diundangkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Ada dua pertimbangan dari Undang-undang tersebut yang patut diperhatikan, yaitu :[1]
- Bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, peran stera dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
- Bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Otonomi daerah merupakan pilihan logis bagi Indonesia dalam upaya menata masa depan politik dan pemerintahan. Tuntutan diberlakukannya otonomi daerah dikarenakan adanya kekecewaan yang dirasakan oleh daerah diakibatkan dominasi pusat yang begitu tinggi. Bagi pemerintah daerah otonomi tidak hanya berarti pelimpahan kekuasaan, namun justru semakin besarnya tugas-tugas pemerintahan. Pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah adalah merupakan salah satu prinsip dari desentralisasi sebagai konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi di daerah.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan berbagaiperaturan pelaksanaannya seyogyanya menjadi acuan pemahaman dalam kerangka terjadinya perubahan atau pergeseran paradigma baru ke arah demokrasi lokal, karena desentralisasi adalah merupakan bagian dari proses demokrasi.
Perubahan sosial dan dinamika pemerintahan yang terjadi di daerah-daerah sering kali melahirkan fenomena menarik dan unik dalam merangsang perenungan kembali tentang makna demokrasi itu sendiri. Fenomena seperti ini dapat merupakan efek dari proses reformasi atau sebagai refleksi dari ditegakkannya demokrasi. Di samping itu dengan pelaksanaan otonomi daerah juga telah membawa pergeseran baru pada lokus atau tempat bernaungnya politik di tingkat lokal yaitu dari eksekutif atau birokrasi kepada badan legislatif daerah. Oleh sebab itu salah satu implikasi dari Undang-undang ini menjamin otonomi luas dengan keharusan bagi DPRD untuk menampung aspirasi masyarakat di daerah untuk kemudian menyuarakannya kembali kepada Pemerintah.
DPRD sebagai representasi rakyat daerah memiliki kewenangan yang cukup besar dalam mempengaruhi dan memutuskan kebijaksanaan daerah. Karena itu sangat dituntut peranan DPRD dalam menyerap aspirasi dan kepentingan masyarakat didaerahnya. Di samping itu hak dan kewenangan serta fungsi kontrol yang ada pada DPRD perlu diefektifkan.
Sering terdengar adanya keluhan yang terjadi di Kotamadya Kendari tentang peranan dan fungsi kontrol DPRD yang kurang efektif dalam mengevaluasi kebijakan daerah. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor peraturan tentang DPRD itu sendiri faktor sumber daya manusia (pendidikan), pengalaman, wawasan dan kemampuan dari para anggota DPRD. Faktor sumber daya manusia yang dimaksud di sini berkaitan dengan kualitas anggota DPRD. Kualitas dimaksud ditinjau dari segi karier politik (pengalaman) dan dari segi tingkat pendidikan formal. Kualitas anggota DPRD Kota Kendari selama ini masih di bawah kualitas eksekutif, karena itu anggota DPR Kota Kendari belum dapat sepenuhnya mengimbangi kemampuan Pemerintah Kota Kendari dalam menjalankan fungsinya.
Sekarang ini Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memberikan peran yang lebih besar kepada DPRD dalam evaluasi dan pengawasan pelaksanaan pemerintahan daerah dengan cara memberikan hak kepada DPRD untuk meminta pertanggungjawaban Kepala Daerah dan menindaklanjuti pertangunggawaban tersebut. Oleh sebab itu dalam seting semacam ini terjadilah penguatan peran DPRD dalam proses pelaksanaan pemerintahan di daerah.
Terjadinya penguatan peran DPRD dalam proses pelaksanaan pemerintahan di daerah merupakan hal baru yang diatur Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Sebelumnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dalam Pasal 13 menegaskan bahwa pemerintah daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kedua organ ini mempunyai kedudukan sederajat, Kepala Daerah sebagai pemimpin eksekutif sedangkan Dewan perwakilan Rakyat Daerah pada bidang legislatif.
Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor: HP. 0819 0405 1059/ 0812 2701 6999/ 0888 9119 100 atau Telp.0274-9553376. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :) |
Tetapi dalam ketentuan pasal lain menunjukkan bahwa Kepala Daerah mempunyai kekuasaan yang lebih dibandingkan dengan kekuasaan DPRD, sebab Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 menganut dualistis yaitu Kepala Daerah karena jabatannya merangkap sebagai Kepala Wilayah. Sebagai Kepala Wilayah maka ia merupakan wakil Pemerintah Pusat di daerah dan juga sebagai penguasa tunggal di bidang pemerintahan di wilayahnya, dalam arti memimpin pemerintahan, mengkoordinasikan pembangunan dan pembina kehidupan masyarakat dalam segala bidang (Pasal 80 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974).
Ketentuan lain yang melemahkan ruang gerak kewenangan DPRD terlihat dalam tata cara pemilihan Kepala Daerah. Undang-undang ini menjelaskan bahwa Kepala Daerah dicalonkan dan dipilih oleh DPRD sedikitnya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima orang. Selanjutnya hasil pemilihan tersebut diajukan DPRD kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, sedikit-dikitnya dua orang untuk dipilih salah satu diantaranya, dan Presiden atau Menteri Dalam Negeri tidak terikat dengan jumlah suara yang diperoleh oleh calon-calon yang diajukan (Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974).
Implikasi dari sistem pengangkatan tersebut adalah pada pertanggungjawaban Kepala Daerah tidak kepada DPRD tetapi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Pasal 22 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974).
Sedangkan kepada DPRD, Kepala Daerah wajib memberikan keterangan pertanggungjawaban sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya dan apabila diminta oleh DPRD (Pasal 22 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974). Tetapi dalam menanggapi “Pemberian keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah”, DPRD tidak mempunyai kewenangan yang jelas, karena tidak diatur bagaimana konsekuensinya seandainya keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah tidak diterima oleh DPRD. Lebih lanjut dalam posisinya yang kuat Kepala Wilayah dapat mengawasi dan mengendalikan DPRD. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974) sebagai berikut : “Apabila ternyata DPRD Tingkat I melalaikan atau karena satu hal tidak dapat menjalankan fungsinya dan kewajibannya sehingga dapat merugikan daerah atau negara, setelah mendengar pertimbangan Gubernur Kepala Daerah, Menteri Dalam Negeri menentukan cara bagaimana hak, wewenang dan kewajiban DPRD itu dijalankan”.
Dalam fungsi membuat peraturan, DPRD diberi kewenangan untuk membuat Peraturan Daerah di dalam fungsi pelaksanaannya ini dapat digunakan melalui hak inisiatif atau hak prakarsa dan hak amandemen atau hak perubahan. Dengan dijalankannya fungsi peraturan oleh DPRD, maka kebijakan-kebijakan pemerintah di daerah akan lebih mencerminkan kehendak rakyat di daerahnya. Tetapi dalam prakteknya fungsi peraturan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, sebab hak inisiatif tidak pernah dilaksanakan. Dilihat dari struktur pemerintahan di daerah yang berorientasi ke atas, sesungguhnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 sangat membatasi penggunaan hak prakarsa atau hak inisiatif oleh DPRD, sebab dengan diterapkannya peran ganda dalam diri Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Walikotamadya dan Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang dalam prakteknya lebih menonjolkan perannya sebagai Kepala Wilayah, maka sebagai konsekuensinya DPRD kurang memiliki kesempatan untuk memainkan perannya sebagai legislator dalam merumuskan Peraturan Daerah. Pada sisi lain kecilnya bobot kekuasaan Dewan dalam fungsi peraturan ini antara lain terlihat dari pengesahan Pemerintah Pusat terhadap Peraturan Daerah. Hal ini membuat anggota Dewan canggung untuk menerima atau menolak suatu rancangan Peraturan Daerah dan mekanisme ini juga memberikan kesan bahwa anggota Dewan bekerja secara tidak tuntas.[2]
Dari apa yang dikemukakan di atas tentang kedudukan Kepala Daerah yang begitu kuat di satu pihak dan melemahnya peran DPRD di lain pihak, sebagaimana dijelaskan secara teknis dalam pasal-pasal Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, maka bila dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 terlepas dari kelemahan yang ada, sangat sulit untuk mengingkari bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan produk hukum yang demokratis yang berhasil dibangun pada awal bergulirnya roda reformasi di Indonesia.
Cukup banyak perubahan atau hal baru yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai jawaban atas tuntutan reformasi. Politik sentralisasi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 beralih pada politik desentralisasi menuju pelaksanaan otonomi teritorial seluas-luasnya. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menggariskan secara tegas pelaksanaan fungsi-fungsi dari Kepala Daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. DPRD tidak lagi dijadikan bagian dari Pemerintah Daerah melainkan menjadi lembaga legislatif Daerah yang sejajar dengan Pemerintah Daerah, bahkan DPRD dapat secara mutlak menentukan Kepala Daerah, meminta pertanggungjawaban kepadanya, bahkan memberhentikannya jika DPRD merasa punya cukup alasan untuk itu (Pasal 16 ayat (2) jo. Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999).
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak menganut otonomi bertingkat seperti dulu, sehingga pada saat ini berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut Gubernur bukanlah atasan Bupati/Walikota. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 seperti yang telah dikemukakan di atas, maka peran DPRD menjadi semakin kuat karena DPRD telah diberi kekuatan politik yang besar untuk menetapkan dan menentukan secara penuh tentang pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah.
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan tegas dinyatakan bahwa baik Gubernur, Bupati maupun Walikota dalam menjalankan tugas dan kewewenangannya selaku Kepala Daerah bertanggungjawab kepada DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota (Pasal 31 jo. Pasal 33 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999).
Adanya penguatan peran DPRD di dalam pemerintahan daerah, juga terasa di Kota Kendari. Hal ini terlihat dari adanya pertanggungjawaban Walikota Kendari Tahun Anggaran 2000 di depan DPRD yang terlaksana dengan baik. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa telah terjadi penguatan peran DPRD di Kota Kendari, khususnya dalam peran pengawasan dan budgeter.
Fenomena pertanggungjawaban Kepala Daerah di depan DPRD merupakan hal baru dalam sistem pemerintahan di daerah. Kebijaksanaan ini sekarang sedang dilaksanakan oleh semua Pemerintah Daerah di Indonesia, dan secara bertahap apa yang diinginkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 akan terlaksana, yakni mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, serta mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dari uraian yang telah Penulis paparkan di atas maka Penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pertangggungjawaban pemerintah daerah, dan menuliskan hasil penelitian tersebut dalam tesis berjudul :
PERANAN DPRD DALAM MEMBAHAS DAN MENINDAK-LANJUTI LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN WALIKOTA KENDARI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
- Apakah mekanisme penyampaian dan pembahasan laporan pertanggungjawaban Walikota Kendari sudah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku?
- Kendala-kendala internal dan eksternal apakah yang dihadapi oleh DPRD Kota Kendari dalam pembahasan laporan pertanggungjawaban Walikota Kendari?
- Upaya-upaya apakah yang dilakukan DPRD Kota Kendari dalam mengatasi kendala-kendala yang muncul?
[1]Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm. 85-86.
[2] Arbi Sanit, Peranan DPRD di Indonesia, Jurnal Penelitian Sosial, No. 8 Tahun 1990, hlm. 28.
Baca selengkapnya »
===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================