Did You Know? Terkadang rasa kecewa yang mendalam disebabkan oleh harapan diri yang terlalu tinggi terhadap sesuatu.

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah

Istilah lelang sudah akrab terdengar dalam kehidupan sehari-hari. Namun tidak banyak orang yang memahami bagaimana ruang lingkup dan tata cara lelang. Dalam hal ini semua pelaksanaan lelang, mulai dari persiapan sampai dengan purna lelang, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Vendu Reglement (Peraturan Penjualan di Muka Umum di Indonesia) yang diatur dalam S. 1940-56 jo. S. 1941-3 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang yang merupakan pengganti PMK Nomor 93/PMK.06/2010 tentang peraturan yang sama.

Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang.[1] Pengumuman lelang adalah pemberitahuan kepada masyarakat tentang akan adanya lelang dengan maksud untuk menghimpun peminat lelang dan pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan.[2] Pengumuman lelang biasanya dilakukan di media surat kabar dan juga media lainnya seperti radio, televisi dan internet. Dalam hal ini media yang paling sering digunakan untuk pengumuman lelang adalah surat kabar. Adanya pengumuman lelang merupakan pelaksanaan dari Pasal 41 PMK Nomor 106/PMK.06/2013.

Penjualan suatu barang dilakukan dengan cara lelang dengan harapan dapat diperoleh harga yang paling tinggi. Hasil penjualan yang tinggi akan dapat memenuhi hak kreditor terhadap piutangnya dan untuk membayar biaya-biaya yang terkait dengan utang tersebut. Jika ada sisa diberikan kepada debitor. Namun demikian tidak menutup kemungkinan penjualan suatu barang jaminan dilakukan dengan cara di bawah tangan, sepanjang ada kesepakatan antara pihak kreditor dengan debitor, jika dengan cara ini akan diperoleh harga yang tertinggi.[3]

Lelang penjualan barang bisa dilakukan terhadap benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak misalnya mobil, motor, emas, televisi, dan lain-lain. Benda tidak bergerak misalnya tanah dan bangunan. Dalam penelitian ini, lelang yang diteliti adalah lelang benda tidak bergerak berupa tanah dan bangunan yang menjadi jaminan kredit di bank yang dilelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Barang yang dijadikan jaminan kredit bank biasanya diikat dengan perjanjian jaminan. Pengikatan barang jaminan kredit dilakukan untuk melindungi kreditor manakala debitor melakukan cidera janji. Dalam perjanjian kredit seringkali pihak kreditor berada dalam posisi yang tidak diuntungkan ketika lawan janjinya (debitor) lalai dalam melaksanakan prestasinya (wanprestasi) padahal utangnya telah melewati batas jatuh tempo pembayaran. Pada asasnya tidak ada kredit yang tidak mengandung jaminan, karena Undang-Undang telah menentukan bahwa setiap kebendaan milik debitor baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan atas utang-utangnya.[4] Namun meskipun Undang-Undang telah menentukan demikian bukan berarti bahwa setiap proses pelunasan dengan objek jaminan akan berjalan dengan lancar dan mudah, karena kenyataannya seringkali kreditor dihadapkan dengan berbagai masalah ketika hendak mengeksekusi barang jaminan debitor yang mengalami kredit macet, misalnya ada perlawanan dari debitor sendiri atau bisa juga ada perlawanan dari pihak ketiga. Hal seperti ini membuat kreditor harus mengalami lebih banyak lagi kerugian waktu, biaya  dan tenaga dalam upaya mengambil pelunasan piutangnya.[5]

Perjanjian jaminan merupakan antisipasi permasalahan yang terkait dengan kesulitan mengambil pelunasan utang. Hal ini dikarenakan perjanjian jaminan memungkinkan bank menguasai  barang-barang  jaminan  baik secara de jure maupun de facto.[6] Hal ini dapat terjadi karena selama masa kredit, barang jaminan yang telah diikat tersebut dikuasai oleh bank dalam arti nasabah tidak berhak menjual barang jaminan kepada pihak lain. Hal tersebut sesuai dengan tujuan pengikatan jaminan, yaitu untuk memberikan legalitas penguasaan barang jaminan tersebut kepada bank, sehingga bank memiliki kekuatan hukum untuk dapat melakukan perbuatan  hukum  (menjual  jaminan guna pelunasan hutang nasabah) pada saat nasabah melakukan wanprestasi.[7]

Seorang  debitor  dikatakan  wanprestasi  apabila  ia  tidak  melakukan  apa yang diperjanjikan atau melakukan apa yang tidak boleh dilakukan.[8] Wanprestasi juga dapat disebabkan kesalahan debitor, yang meliputi:[9]

  1. Kesengajaan, maksudnya adalah perbuatan yang menyebabkan terjadinya wanprestasi tersebut memang diketahui dan dikehendaki oleh debitor.
  2. Kelalaian, maksudnya adalah debitor melakukan suatu kesalahan, akan tetapi perbuatannya itu  tidak  dimaksudkan  untuk  terjadinya  wanprestasi yang kemudian ternyata menyebabkan terjadinya wanprestasi.

Adapun bentuk-bentuk wanprestasi meliputi:

  1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
  2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
  3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.[10]

Dari keempat bentuk wanprestasi di atas, wanprestasi yang dilakukan debitor bank bisa berupa:

  1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya, bentuknya berupa tidak membayar angsuran yang telah disepakati sehingga terjadi kredit macet.
  2. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat, bentuknya berupa keterlambatan membayar angsuran. Hal ini tidak membuat kreditnya menjadi kredit macet, tetapi tetap membuat bank rugi karena terlambat dibayar.

Krisis perbankan yang melanda Asia pada medio 1997 dan juga telah menghancurkan perbankan di Indonesia, menjadi bukti bahwa bank dapat mengalami kebangkrutan apabila kredit yang diberikannya banyak yang mengalami wanprestasi berupa kredit macet. Pemberian kredit memang merupakan kegiatan yang berisiko tinggi. Risikonya adalah debitor melakukan wanprestasi berupa tidak membayar kembali kredit yang telah diterimanya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Dalam mengantisipasi hal seperti inilah keberadaan jaminan menjadi sangat penting.

Dalam meminjam uang di bank, barang yang sering dijadikan jaminan kredit adalah tanah dan bangunan. Barang jaminan berupa tanah dan bangunan biasanya diikat dengan menggunakan hak tanggungan.[11] Adapun yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah:

Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. [12]

 Hak tanggungan adalah suatu istilah baru dalam hukum jaminan yang diintrodusir oleh UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yang sebelumnya belum dikenal sama sekali, baik dalam Hukum Adat maupun dalam Kitab  Undang-undang  Hukum  Perdata  (selanjutnya  dalam  tulisan  ini disebut KUHPerdata). Hak tanggungan atas tanah merupakan bagian dari reformasi dibidang agraria, yang ketentuan-ketentuan pokoknya diatur dalam UUPA, dimana dalam Pasal 51 disebutkan bahwa hak tanggungan dapat dibebankan kepada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan. Berdasarkan amanat Pasal 51 UUPA tersebut kemudian lahirlah UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut UUHT).[13]

Ada beberapa unsur pokok dari hak tanggungan, yaitu:

  1. Hak tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.
  2. Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
  3. Hak tanggungan tidak hanya dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
  4. Utang yang dijamin harus suatu utang yang tertentu.
  5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu dibanding kreditor-kreditor lain.[14]

Sesuai dengan ketentuan peralihan dalam Pasal 57 UUPA, maka sebelum lahirnya UUHT, hak jaminan atas tanah yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan tentang Hipotik seperti diatur dalam Buku II KUHPerdata dan Credietverband yang diatur dalam S. 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S. 1937-190. Adanya dua macam peraturan mengenai hak jaminan ini karena pada waktu itu hak atas tanah masih dibedakan atas hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak barat, dimana berlaku ketentuan-ketentuan tentang Hipotik seperti diatur dalam KUHPerdata dan hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak Indonesia asli (adat), dimana berlaku ketentuan-ketentuan tentang Credietverband seperti diatur dalam S. 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S. 1937-190. Dengan berlakunya UUHT, sesuai dengan Pasal 29 UUHT, maka ketentuan-ketentuan mengenai tanah sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan pada hak-hak atas tanah dan

benda-benda yang berkaitan dengan tanah, dinyatakan tidak berlaku lagi. Adapun ketentuan yang dipakai sebagai gantinya adalah Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT).[15]

Menurut Pasal 6 UUHT, apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.[16]  Konsep ini dalam KUHPerdata dikenal sebagai parate eksekusi sebagaimana dimaksud dalam  Pasal  1178 ayat  (2)  KUHPerdata.  Dengan konsep parate eksekusi, pemegang hak tanggungan tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu kepada pemberi hak tanggungan, dan tidak perlu juga meminta penetapan pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas hak tanggungan yang menjadi jaminan utang debitor dalam hal debitor cidera janji.[17]  Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung datang dan meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek hak tanggungan yang bersangkutan.[18] Konsep ini merupakan terobosan atas proses eksekusi yang ada sebelum lahirnya Undang-undang Hak Tanggungan, dimana eksekusi atas grosse akta hipotik hanya dapat dilakukan melalui eksekusi di Pengadilan Negeri yang memakan waktu yang lama dan biaya eksekusi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan parate eksekusi hak tanggungan.[19]

Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor:

HP. 0819 0405 1059/ 0812 2701 6999 atau Telp.0274-9553376. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :)

Parate eksekusi merupakan salah satu dari lembaga-lembaga yang merupakan keistimewaan dari lembaga jaminan khusus. Sebagaimana diketahui bahwa lembaga jaminan dalam Hukum Perdata Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu lembaga jaminan umum dan lembaga jaminan khusus. Lembaga jaminan umum merupakan jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditor dan menyangkut semua harta benda milik debitor, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yaitu “segala harta/hak kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di masa mendatang, menjadi tanggungan untuk semua perikatan perorangan”. Sedangkan lembaga jaminan khusus merupakan jaminan yang diberikan dengan penunjukan atau penyerahan atas suatu benda/barang tertentu secara khusus, sebagai jaminan untuk melunasi utang/kewajiban debitor, baik secara kebendaan maupun perorangan, yang hanya berlaku bagi kreditor tertentu saja.[20]

Lembaga parate eksekusi merupakan lembaga jaminan khusus yang berkaitan dengan pemudahan dan pendahuluan bagi pelunasan hak tagih dalam hubungannya terhadap hak-hak jaminan yang bersifat kebendaan yang dimiliki kreditor.[21] Keistimewaan dari parate eksekusi adalah memberi hak kepada kreditor untuk melakukan penjualan atas kekuasaannya sendiri seolah-olah obyek jaminan yang dijaminkan oleh debitor adalah milik kreditor sendiri dengan tanpa melibatkan debitor dalam proses penjualannya.[22]

Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia parate eksekusi atau eksekusi langsung terjadi apabila seorang kreditor menjual barang-barang tertentu milik debitor dengan tanpa mempunyai titel eksekutorial. Dengan kata lain ciri pokok dari parate eksekusi adalah eksekusi dilakukan tanpa fiat eksekusi dari ketua pengadilan. Oleh karena itu pelaksanaan parate eksekusi dianggap sederhana karena tidak melibatkan debitor, pengadilan maupun prosedur hukum acara. Pelaksanaannya hanya digantungkan pada syarat debitor wanprestasi. Kewenangan seperti itu tampak sebagai hak eksekusi yang selalu siap di tangan ketika dibutuhkan, itulah sebabnya eksekusi yang demikian disebut sebagai parate eksekusi.[23]

Pelaksanaan parate eksekusi menggunakan dasar hukum Pasal 6 UUHT. Adapun pelaksanaannya dilakukan dengan cara lelang. Prosedurnya adalah begitu debitor melakukan wanprestasi, maka kreditor pemegang hak tanggungan diberi hak oleh UUHT untuk langsung memohon lelang kepada kantor lelang negara (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang/KPKNL). Jadi walaupun di dalam akta pemberian hak tanggungan tercantum klausula: ”dalam hal debitor wanprestasi, kreditor pemegang hak tanggungan berwenang menjual atas kekuasaan sendiri”, namun pelaksanaan lelang eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditor pemegang hak tanggungan, melainkan harus dilakukan oleh pejabat lelang pada KPKNL, karena pejabat lelang inilah yang oleh peraturan diberi wewenang melakukan lelang eksekusi. Berdasarkan permohonan eksekusi tersebut, selanjutnya pejabat lelang memproses pelaksanaan lelang, diawali dengan pengumuman lelang sebanyak dua kali diikuti dengan penjualan lelang dan pembagian hasil lelang.[24]

Dalam hal ini ada juga balai lelang swasta baik yang berupa lembaga maupun perorangan.[25] Balai lelang swasta ini tidak berhak untuk melakukan penjualan, namun hanya berhak menyelenggarakan pralelang dan pascalelang, sedangkan lelangnya sendiri dilaksanakan oleh KPKNL. Pendirian balai lelang swasta ini dimaksudkan untuk meningkatkan pendayagunaan lelang sebagai salah satu sarana perekonomian yang bersifat terbuka dan obyektif sehingga dapat diperoleh harga yang optimal dengan proses yang cepat. Mengenai peserta lelang yang dilayani balai lelang swasta bisa berupa lembaga keuangan, perusahaan pemerintah dan swasta, perusahaan lokal maupun asing, yayasan, dan juga perorangan.

Peranan balai lelang swasta dalam tahap pralelang adalah mempersiapkan dokumen lelang dan mencari pembeli atas objek yang akan dilelang. Adapun peranannya pascalelang adalah memberikan informasi cara pelunasan pembayaran kepada pemenang lelang sesuai aturan yang berlaku; berkoordinasi dengan KPKNL setempat untuk penyerahan risalah lelang kepada pemenang lelang; menyerahkan obyek lelang dan dokumen pemenang lelang dengan berita acara penyerahan setelah proses pelunasan; memberikan informasi untuk lelang lanjutan; pelayanan terhadap komplain baik itu pemenang  lelang  maupun  peserta  lelang,  dan  membantu  pengurusan  balik nama atas objek lelang.[26]

Hasil eksekusi lelang digunakan untuk memenuhi hutang debitor. Ketentuan pemenuhan pengembalian utang sesuai dengan jumlah nilai terhutang. Oleh karena itu dalam hal hasil eksekusi barang jaminan melebihi nilai pinjaman maka kreditor wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada debitor. Sebaliknya, apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk melunasi pembayaran utang, maka debitor tetap bertanggung jawab atas utang yang  belum terbayar. Pemenuhan kewajiban debitor atas utang yang belum terbayar tersebut dilakukan melalui gugatan perdata. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada, maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”

Dalam prakteknya pelaksanaan Pasal 6 UUHT masih tidak dapat dilaksanakan oleh pemegang hak tanggungan. Hal ini dikarenakan belum ada peraturan pemerintah sebagai pelaksanaannya. Sehubungan dengan itu, maka penggunaan Pasal 6 UUHT sebagai dasar hukum pelaksanaan lelang eksekusi adalah tidak sah. Keadaan ini merupakan ketentuan hukum memaksa (dwingen recht), sehingga harus ditaati. Pelanggaran terhadap ketentuan ini terancam sanksi hukum. Adapun akibat hukum yang timbul apabila pemegang hak   tanggungan   memaksakan   melakukan   lelang  dengan  prosedur  parate eksekusi menurut Pasal 6 UUHT adalah pelaksanaan eksekusi tersebut batal demi hukum.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik melaksanakan penelitian yang terkait dengan pelaksanaan lelang dan pertanggungjawaban KPKNL bila melaksanakan lelang yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hasil penelitian ditulis dalam tesis berjudul Pertanggungjawaban Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) atas Kerugian Debitor (Tereksekusi) dalam Pelaksanaan Eksekusi Menurut Pasal 6  Undang-Undang Hak Tanggungan.

B.  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dirumuskan masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana prosedur pengajuan keberatan dari pihak debitor/tereksekusi yang dirugikan dalam proses lelang parate eksekusi?
  2. Bagaimana pertanggungjawabannya apabila ada pihak yang dirugikan karena adanya kesalahan prosedur lelang parate eksekusi? Siapa yang bertanggungjawab atas kerugian itu?

[1] F.X. Ngadijarmo, Nunung Eko Laksito, Isti Indri Listiani, 2006, Lelang Teori dan Praktek, Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan, hal. 1.

[2] Pasal 1 angka 3 PMK Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

[3] F.X. Ngadijarmo, Nunung Eko Laksito, Isti Indri Listiani, op. cit., hal. 2.

[4] Pasal 1131 KUHPerdata.

[5] J. Satrio, 1993, Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, Bandung:  Citra Aditya Bakti, hal. 5.

[6] Tjipto Adinugroho, 1994, Perbankan Masalah Perkreditan, Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 100.

[7] Ibid.

[8] Gatot Supratmono, 2005, Perbankan, Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Djambatan, hal. 12.

[9] Ibid.

[10]Lili Wery, 1990, Hukum Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Bintang Terang, hal. 80.

[11] Mariam Darus Badrulzaman, 2003,  Perjanjian Kredit Bank, Bandung: Alumni, hal. 12.

[12] Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

[13] Boedi Harsono, 2006, Komentar Atas Undang-Undang Hak Tanggungan Beserta Benda-benda yang terkait dengan Tanah, Jakarta: Djambatan, hal. 1.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

[17] Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi Oleh Perbankan, Bandung: Alumni, hal. 46.

[18] Ibid.

[19] Ibid.

[20] Ibid., hal. 47.

[21] Sentosa  Sembiring,  2000, Hukum  Perbankan,  Bandung: CV.  Mandar  Maju, hal. 171.

[22] Ibid.

[23] J. Satrio, 2000, Perjanjian dan Aspek Hukumnya, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 21.

[24] “Sekilas tentang Perusahaan Borneo, Balai Lelang Terpercaya di Indonesia”, diakses pada tanggal 4 April 2013 melalui http://www.borneobalailelang.com.

[25] Ibid.

[26] Ibid.

    Baca selengkapnya »

===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================

Judul terkait:

Layanan Referensi & Konsultan Skripsi Tesis & Disertasi   No.HP.0819.0405.1059  Home: (0274) 9553376