POLEMIK DALAM PENETAPAN STATUS TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI (SEBUAH KAJIAN DALAM KEBIJAKAN DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP)
Jun 15th, 2007 by admin2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keputusan pemerintah untuk menetapkan kawasan hutan di Gunung Merapi sebagai taman nasional menimbulkan konflik di dalam masyarakat. Penolakan datang dari berbagai kalangan, mulai dari kalangan masyarakat, ilmuwan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta.
Proses pembuatan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) sebenarnya sempat terhenti satu tahun setelah mendapat kritik keras pada saat usulan itu pertama kali dimunculkan pada tahun 2001. Setelah ditentang dari berbagai pihak, pada tahun 2002 pemerintah menjanjikan untuk membuat kajian kelayakan dan sosialisasi yang matang. Namun, tiba-tiba pada 4 Mei 2004, surat keputusan (SK) tentang TNGM muncul tanpa melalui prosedur yang dijanjikan. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 134/Menhut-II/ 2004 itu, sebagian kawasan hutan Gunung Merapi seluas 6.410 hektar, yang terletak di Kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali, dan Klaten, ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Merapi.
Areal kawasan hutan sekitar puncak Merapi diperkirakan 8.752 hektar, terdiri atas 1.791 hektar atau 20 persen di wilayah DIY dan 6.961 hektar atau 79,5 persen di wilayah Jawa Tengah. Hutan di lereng Merapi sangat strategis karena sebagian besar berfungsi sebagai hutan lindung. Di luar itu, 198,5 hektar di antaranya berstatus cagar alam Plawangan Turgo di Kabupaten Sleman serta 131 hektar hutan taman wisata alam.
Hutan lereng Merapi sangat penting bagi provinsi DIY dan Jawa Tengah karena berfungsi sebagai penyangga kehidupan dalam satuan ekosistem sumber daya alam dan bertindak sebagai daerah tangkapan air serta sumber air penting bagi Sungai Progo, Opak, Bebeng, dan Serang. Oleh karena itulah pemerintah pusat mengambil keputusan menetapkan kawasan Gunung Merapi sebagai Taman Nasional.
Berkaitan dengan itu Menteri Kehutanan M. Prakosa menegaskan, surat keputusan tentang perubahan status Gunung Merapi menjadi taman nasional sudah final dan tidak dapat dianulir atau diubah. Tidak ada kekeliruan yang dilakukan pemerintah, karena pengubahan status tersebut bertujuan untuk lebih mengefektifkan kegiatan konservasi.
Menurut Menteri SK Nomor 234/MENHUT-II/2004 sudah final dan tidak akan ada pembaruan SK. Keputusan itu diambil melalui penelitian dan kajian yang mendalam dengan mempertimbangkan beberapa aspek. Prakosa memaparkan, beberapa pertimbangan pengubahan status itu supaya dalam pengelolaannya bisa lebih efisien dan optimal. Selain itu, dari spesifikasi kondisi alam dan daerahnya, Gunung Merapi merupakan kawasan konservasi yang memang harus ditingkatkan statusnya, dan sesuai untuk menjadi taman nasional.
Lebih lanjut menurut Menteri, taman nasional adalah bentuk pengelolaan yang sangat moderat sebagai langkah menyatukan dan mengefektifkan cara-cara pengelolaan bentuk cagar alam, hutan lindung, serta wisata alam. Berdasarkan kajian yang telah dibuat, Gunung Merapi merupakan kawasan konservasi yang harus ditingkatkan statusnya. Demikian alasan yang dikemukakan oleh Menteri Kehutanan.
Akan tetapi apapun alasannya, Keputusan Menteri Kehutanan M. Prakosa itu menyentak banyak pihak dan mengundang penolakan yang keras karena SK itu terkesan dibuat secara “sembunyi-sembunyi” dan menunjukkan arogansi pemerintah pusat. Akan tetapi, sebenarnya Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X dan Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto, menyetujui penetapan TNGM itu. Bahkan usul untuk menjadikan kawasan Gunung Merapi sebagai Taman Nasional datang dari Gubernur DIY Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto.
Pemerintah Kabupaten Sleman, yang sebagian wilayahnya digunakan untuk TNGM, juga diabaikan aspirasinya. Bupati Sleman Ibnu Subiyanto mengaku sangat terkejut dengan munculnya SK itu, dan belum mendapat tembusannya. Demikian juga masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Merapi tidak ada yang diajak bicara. Padahal, menurut Peta Usulan TNGM dari Badan Planologi Kehutanan, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa-Madura, Departemen Kehutanan, sedikitnya ada sembilan desa di Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten yang berada di dalam kawasan TNGM.
Wilayah TNGM yang masuk wilayah Kabupaten Magelang berada di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Dukun meliputi Desa Kemiren dan Desa Ngargosoko, serta Kecamatan Srumbung meliputi Desa Ngablak. Di Kabupaten Boyolali, yang masuk wilayah TNGM berada di Kecamatan Cepogo meliputi Desa Cluntang dan Desa Wonodoyo, Kecamatan Musuk meliputi Desa Mriyan dan Desa Sangup. Sedangkan di Kabupaten Klaten yang masuk wilayah TNGM berada di Kecamatan Kemalang, meliputi Desa Tegalmulyo dan Desa Sidorejo. Semua desa yang masuk ke dalam kawasan TNGM itu adalah desa yang berpenduduk rata-rata di atas 200 keluarga.
Sejumlah aparat desa dan wakil masyarakat lereng Merapi yang tinggal di Kabupaten Klaten, Sleman, Boyolali, dan Magelang mengemukakan kekecewaan terhadap pemerintah terkait penetapan TNGM. Mereka meminta agar pemerintah mencabut ketetapan itu.
Akibat ditetapkannya status kawasan Merapi sebagai Taman Nasional berakibat penduduk setempat yang bermukim di sekitar kawasan Merapi harus pindah. Atas ketentuan ini penolakan keras muncul dari warga yang tinggal di dalam batas TNGM. Penduduk menolak meninggalkan kawasan Merapi yang telah ditempati turun-temurun. Penolakan tersebut wajar, mengingat warga desa di lereng Merapi memiliki hubungan timbal balik dengan Merapi. Mereka membutuhkan Merapi karena penghidupan mereka ada di Merapi, yaitu mencari rumput untuk pakan ternak. Namun, mereka juga menjaga Merapi dengan tradisi yang sudah lama mengakar dalam hidup mereka.
Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor: HP. 0819 0405 1059/ 0812 2701 6999/ 0888 9119 100 atau Telp.0274-9553376. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :) |
Desakan masyarakat yang semakin kuat itu mendorong DPRD DI Yogyakarta dan DPRD Sleman menggelar dengar pendapat tentang TNGM. Dalam dengar pendapat dengan berbagai komponen masyarakat, LSM, dan pakar, DPRD Sleman akhirnya menyimpulkan bahwa TNGM harus ditolak karena tidak prosedural, dan konsepnya tidak jelas. DPRD Sleman juga berjanji mendukung Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta yang berencana melakukan gugatan hukum (legal standing) kepada Menteri Kehutanan.
Di lain pihak menurut Kuspriyadi, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DIY menjelaskan, SK tersebut dikeluarkan setelah melalui pertimbangan yang matang untuk mengkonservasi Merapi. Salah satu dasar pertimbangannya adalah hasil studi kelayakan yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang merekomendasikan perlunya perlindungan dan pelestarian kawasan Merapi.
Akan tetapi ternyata dosen Fakutas Kehutanan UGM Sofyan P. Warsito menyangkal pihaknya merekomendasikan TNGM. Menurut Beliau studi yang dilakukan Fakutas Kehutanan UGM menyimpulkan bahwa hutan Gunung Merapi memang harus dikonservasi, namun sama sekali tidak menyebutkan Gunung Merapi layak untuk TNGM. Oleh karena itu Warsito menyesalkan jika hasil studi Fakutas Kehutanan UGM dijadikan legitimasi untuk mengeluarkan SK tersebut. Berdasarkan sangkalan yang dikemukakan oleh Sofyan P. Warsito dari Fakultas Kehutanan UGM dapat diketahui bahwa penetapan TNGM tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
Sementara Asisten Bidang Pembangunan Kabupaten Sleman Riyadi Martoyo menyatakan bahwa Departemen Kehutanan pernah berjanji akan memaparkan lebih dulu hasil studi kelayakan Merapi, sebelum penetapan TNGM. Tetapi, hingga SK ini ditetapkan, ternyata belum pernah ada pemaparan apapun dari pihak Departemen Kehutanan. Hal ini jelas melanggar ketentuan yang berlaku.
Dari uraian tersebut, dapat diketahui pihak-pihak yang terlibat dalam konflik merasa sama-sama mempunyai kebenaran akan pendapatnya masing-masing. Hal inilah yang memunculkan terjadinya konflik dalam penetapan status Taman Nasional Gunung Merapi.
B. Rumusan Masalah
Dalam menyikapi kasus yang berkaitan dengan status kawasan Merapi sebagai Taman Nasional melalui SK No.234/MENHUT-II/2004 tentang TNGM, maka perlu dikaji lebih jauh hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya konflik.
Perlu dikemukakan ada dua persepsi dalam sistem pengelolaan kawasan hutan Gunung Merapi yang masing-masing dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda.
Pertama, pemerintah sebagai pengambil kebijakan ditingkat elit politik cenderung melihat persoalan yang berkaitan dengan konservasi alam merupakan suatu hal yang sangat krusial sehingga perlu ditangani oleh pemerintah pusat dengan sistem top-down policy. Hal ini didasari oleh fakta bahwa kawasan hutan lereng Merapi telah berada dalam kondisi yang memprihatinkan terutama disebabkan oleh ancaman penambangan pasir.
Karena itu kawasan tersebut perlu diisolasi dari aktivitas sosial dengan dalih penyelamatan lingkungan. Kedua, masyarakat disekitar kawasan hutan lereng Merapi memandang bahwa keberadaan Gunung Merapi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat baik secara ekonomi, sosial dan budaya. Masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya memiliki konsep yang berkaitan dengan konservasi, dalam bahasa Jawa disebut “Alas Mbiyungan”, yang mengandung pengertian bahwa hutan adalah merupakan warisan leluhur, oleh karena itu perlu dijaga dan dipelihara kelestariannya secara turun temurun. Dengan demikian ada tanggungjawab moral bagi masyarakat disekitar Merapi untuk mematuhinya. Jadi sangat mustahil untuk memisahkan eksistensi kawasan Merapi dari kehidupan masyarakat disekitarnya.
Dengan demikian dapat ditarik benang merah yang menjadi inti persoalan, yaitu pentingnya penetapan kawasan konservasi dari sudut pandang pemerintah disatu pihak dan persoalan aksesibilitas dari sudut pandang masyarakat lereng Merapi dipihak lain.
Bertolak dari persoalan tersebut, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan: Bagaimana cara penyelesaian konflik dalam penetapan Taman Nasional Gunung Merapi?
C. Manfaat dan Tujuan Penelitian
Hasil penelitian skripsi yang berjudul “Polemik dalam Penetapan Status Taman Nasional Gunung Merapi (Sebuah Kajian dalam Kebijakan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup)” ini diharapkan bermanfaat:
- Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan khususnya dibidang kehutanan, agar dapat melibatkan peran serta masyarakat yang berlandaskan pada sistem pemerintahan yang baik (good governance).
- Sebagai pelajaran bagi semua pihak baik politikus maupun praktisi sosial, dalam menangani konflik, hendaknya melihat fenomena konflik tersebut secara objektif sehingga mendapatkan penyelesaian yang terbaik.
Sedangkan tujuannya, berdasarkan rumusan masalah adalah:
- Menemukan akar atau sumber konflik berkaitan dengan penetapan status Taman Nasional Gunung Merapi.
- Mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam polemik penetapan Taman Nasional Gunung Merapi, baik pihak pemerintah sebagai penetap kebijakan maupun masyarakat yang menolak kebijakan tersebut.
- Merekomendasikan alternatif solusi konflik agar tidak menjadi polemik yang berkepanjangan.
- Baca selengkapnya »
===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================