PROBLEMATIKA TINDAK PIDANA ABORSI SUATU TINJAUAN NORMATIF
Jul 27th, 2008 by admin5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Hal-hal yang akan diuraikan dan dibahas dalam tulisan ini tidak lepas dari problematika aborsi menurut tinjauan normatif. Arti dari problematika itu sendiri adalah “segala sesuatu yang berkaitan dengan….”.[1] Karena dalam penelitian ini judul yang diambil adalah Problematika Aborsi, Suatu Tinjauan Normatif, maka yang akan diuraikan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan aborsi, khususnya yang berkaitan dengan tinjauan normatifnya.
Fungsi reproduksi sering merepotkan manusia. Banyak pasangan suami isteri yang ingin sekali mendapatkan anak, mereka bersedia memikul beban finansial yang besar dan beban psikologis yang berat agar dapat mempunyai anak sendiri, tetapi setelah dicoba dengan berbagai cara anak yang diharapkan tak kunjung hadir. Ironisnya, di sisi lain ada pula pasangan yang isterinya mengalami kehamilan, tetapi kehamilan itu tidak diharapkan (KTD = Kehamilan Tidak Diharapkan). Alasan yang sering diajukan adalah bahwa pasangan tersebut sudah mempunyai banyak anak dan sudah tidak mampu secara ekonomi untuk mempunyai tambahan satu orang anak lagi. Untuk itu pasangan tersebut menempuh segala cara untuk mengakhiri kehamilan tersebut.
Aborsi juga banyak dilakukan oleh perempuan yang belum menikah. Hal ini terjadi dikarenakan pergaulan laki-laki dan perempuan yang semakin bebas, sehingga melanggar batas-batas yang seharusnya belum boleh dilakukan sebelum sah menjadi suami isteri. Hal ini diungkap dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat sebagai berikut:
Dimasa sekarang ini kehamilan yang tidak diinginkan tidak hanya banyak terjadi di dalam pernikahan, tetapi juga di luar nikah. Hal ini terjadi pada anak-anak muda yang menganut gaya hidup seks bebas. Pada awalnya para anak muda tersebut hanya berpacaran biasa, akan tetapi setelah cukup lama berpacaran mereka melakukan hubungan suami isteri. Ketika hubungan mereka membuahkan janin dalam kandungan, timbul masalah karena mereka belum menikah dan kebanyakan masih harus menyelesaikan sekolah atau kuliahnya. Ditambah adanya rasa takut ketahuan dan rasa malu apabila masalah kehamilan itu ketahuan oleh orang tua dan orang lain, maka berbagai cara ditempuh untuk mengatasi benih bakal manusia yang ada di dalam rahim. Ada yang melakukan pernikahan sehingga dikenal istilah MBA (Married By Accident) atau nikah setelah perut sang gadis agak membesar karena hamil. Namun ada pula yang mengambil jalan pintas dengan cara menggugurkan kandungannya.[2]
Pengguguran kandungan juga sering dilakukan oleh para wanita yang menjadi korban perkosaan. Alasan yang sering diajukan oleh para wanita yang diperkosa itu adalah bahwa mengandung anak hasil perkosaan itu akan menambah derita batinnya karena melihat anak itu akan selalu mengingatkannya akan peristiwa buruk tersebut.
Namun demikian tidak selamanya kejadian-kejadian pemicu seperti sudah terlalu banyak anak, kehamilan di luar nikah, dan korban perkosaan tersebut membuat seorang wanita memilih untuk menggugurkan kandungannya. Ada juga yang tetap mempertahankan kandungannya tersebut dengan alasan bahwa menggugurkan kandungan tersebut merupakan perbuatan dosa sehingga dia memilih untuk tetap mempertahankan kandungannya.
Apapun alasan yang diajukan untuk menggugurkan kandungan, jika hal itu bukan disebabkan alasan medis maka ibu dan orang yang membantu menggugurkan kandungannya akan dihukum pidana. Hal ini dikarenakan hukum positif di Indonesia melarang dilakukannya aborsi. Akan tetapi di lain pihak, jika kandungan itu tidak digugurkan akan menimbulkan masalah baru, yaitu apabila anak tersebut terlahir dari keluarga miskin maka ia tidak akan mendapat penghidupan yang layak, sedangkan apabila anak itu lahir tanpa ayah, ia akan dicemooh masyarakat sehingga seumur hidup menanggung malu. Hal ini dikarenakan dalam budaya timur Indonesia, tidak dapat menerima anak yang lahir di luar nikah. Alasan inilah yang kadang-kadang membuat perempuan yang hamil di luar nikah nekat menggugurkan kandungannya.
Berkaitan dengan pilihan menggugurkan atau mempertahankan kehamilan sekarang dikenal istilah yang disebut dengan prochoice dan prolife. Prochoice adalah pandangan yang menyatakan bahwa keputusan menggugurkan atau mempertahankan kandungan adalah hak mutlak dari ibu yang mengandung bayi tersebut. Pandangan ini berawal dari keinginan untuk mengurangi angka kematian ibu akibat aborsi, karena dengan melarang aborsi ternyata ibu yang akan aborsi menggunakan jasa-jasa aborsi yang tidak aman (unsafe abortion) sehingga banyak ibu yang meninggal ketika menjalani aborsi. Jika pandangan ini diterima oleh masyarakat dan kemudian ditetapkan dalam sistem hukum Indonesia, maka aborsi tidak akan dilarang lagi. Lebih lanjut pemerintah wajib untuk menyediakan fasilitas klinik aborsi yang akan melayani ibu-ibu yang melakukan aborsi. Klinik aborsi ini mempunyai tingkat keamanan yang tinggi, karena menggunakan standar prosedur aborsi yang aman (safe abortion). Adanya safe abortion akan membuat berkurangnya jumlah kematian ibu akibat aborsi.
Di lain pihak prolife adalah pandangan yang menentang adanya aborsi. Mereka berpandangan bahwa janin mempunyai hak hidup yang tidak boleh dirampas oleh siapapun, termasuk oleh ibu yang mengandungnya. Melakukan aborsi sama saja dengan melakukan pembunuhan, dan pembunuhan merupakan dosa yang sangat besar. Oleh karena itu para penganut paham prolife ini sangat menentang dilakukannya aborsi. Menurut mereka melegalisasi aborsi bertentangan dengan agama karena memang kelompok prolife ini kebanyakan berasal dari kaum agamawan tetapi banyak pula yang bukan agamawan tetapi memiliki pandangan prolife. Pandangan tentang prochoice dan prolife inilah yang selanjutnya akan dibahas sehubungan dengan masalah aborsi.
Yogyakarta sebagai kota pelajar yang menjadi tujuan menimba ilmu dari sejumlah pelajar dari 32 provinsi juga tidak lepas dari fenomena maraknya aborsi. Hal ini dapat diketahui dari banyaknya berita-berita aborsi di surat kabar yang mengungkap kasus-kasus aborsi di Yogyakarta. Berita-berita tersebut memuat kasus aborsi baik yang tertangkap pelakunya maupun yang hanya mendapatkan bekas aborsinya saja, antara lain janin yang ditinggal begitu saja setelah selesai diaborsi.[3] Ada juga janin yang sengaja ditinggal di depan rumah penduduk atau di depan Yayasan pengurus bayi terlantar seperti yang terjadi baru-baru ini. Seorang bayi ditemukan di depan Yayasan Sayap Ibu yang merupakan tempat penampungan bayi-bayi yang berasal dari ibu yang hamil di luar nikah, bayi anak jalanan, dan bayi-bayi lain yang tidak diurus orang tuanya.[4]
Sejalan dengan maraknya aborsi di Yogyakarta, sekarang ini jasa aborsi juga semakin marak dipromosikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tulisan-tulisan selebaran yang ditempel di dinding-dinding toko, dinding rumah penduduk atau di tiang-tiang lampu merah (traffic light) di perempatan jalan yang ramai lalu lintasnya. Isi dari tulisan itu adalah penawaran jasa aborsi kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Tulisan tersebut memang tidak secara terang-terangan menyatakan menuliskan kata “aborsi” akan tetapi dari bunyi kalimat yang dituliskan sudah cukup menyiratkan bahwa jasa yang ditawarkan adalah jasa aborsi. Bunyi tulisan itu antara lain “Jika Anda Terlambat Datang Bulan Hubungi ….” (nomor telepon tertentu). Nomor telepon yang diberikan biasanya adalah nomor HP (Hand Phone) sehingga sulit untuk melacak keberadaan si pemilik nomor tersebut.
Keadaan tersebut di atas yang menarik penulis untuk melakukan studi terhadap aborsi di Indonesia khususnya di Yogyakarta. Hal ini didasari alasan bahwa Yogyakarta juga tidak lepas dari fenomena aborsi, padahal Yogyakarta merupakan kota pelajar yang terkenal menjunjung tinggi budaya timur yang identik dengan menentang aborsi. Selain alasan tersebut, alasan yang mendorong penulis untuk meneliti masalah ini adalah kemudahan untuk memperoleh data.
Sebelumnya pernah diteliti topik yang sama, yakni oleh R. Mohammad Waluyo Sejati (1995). R. Mohammad Waluyo Sejati (1995) menulis skripsi dengan judul Kasus Aborsi terhadap Seorang Wanita yang atas Permintaannya Ditinjau dari Hukum Pidana. Masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah 1) Mengapa yang dituntut hanya dokter yang melakukan aborsi, sedangkan saksi yang membujuk tidak dituntut? 2) Mengapa dokter yang melakukan aborsi tidak dituntut pidana tambahan berupa pencabutan hak? Sama seperti halnya penelitian sebelumnya, maka penelitian ini juga menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis. Dalam penelitian ini masalah penelitian dibatasi hanya pada Perkara Pidana No. 105/Pid B/1993/PN. Semarang yang diputus oleh Pengadilan Negeri Semarang.
Perbedaan kedua penelitian di atas dengan penelitian penulis adalah pada masalah yang dibahas. Dalam penelitian ini yang dibahas adalah 1) Bagaimana perkembangan pandangan/pendapat tentang boleh tidaknya aborsi di Indonesia? 2) Proses pelembagaan seperti apa yang harus dilakukan agar aborsi seperti tuntutan prochoice dapat diperbolehkan yang didukung adanya suatu norma?
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai kasus aborsi ini, maka penulis mengangkat masalah tersebut dalam skripsi dengan judul:
Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor: HP. 0819 0405 1059/ 0812 2701 6999 atau Telp.0274-9553376. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :) |
“PROBLEMATIKA ABORSI SUATU TINJAUAN NORMATIF”
B. Latar Belakang Masalah
Aborsi semakin marak di Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari data-data yang diajukan oleh para peneliti tentang jumlah aborsi yang terjadi di Indonesia. Koran Kompas edisi 3 Maret 2000 mengungkapkan data bahwa setiap tahunnya di Indonesia diperkirakan terjadi sekitar 2,3 juta aborsi, diantaranya akibat kegagalan kontrasepsi diperkirakan 600.000 kasus, karena alasan kebutuhan hidup yang tidak mencukupi mencapai 720.000 kasus, aborsi spontan diperkirakan sekitar satu juta kasus sedangkan aborsi akibat kehamilan remaja belum dapat diperkirakan banyaknya. Hal ini merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius, karena banyaknya kasus aborsi yang juga menyebabkan kematian bagi perempuan yang melakukan aborsi itu.[5]
Di lain pihak Population Council mengemukakan jumlah pengguguran kandungan (aborsi) di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan berkisar antara 750.000 dan 1.000.000. Ini berarti terjadi sekitar 18 aborsi per 100 kehamilan, bila diasumsikan ada sekitar 4,5 juta kelahiran hidup di Indonesia pada tahun 1989.[6]
Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 mendapatkan data bahwa aborsi memberikan kontribusi sebesar 11,1 persen terhadap Angka Kematian Ibu (AKI), sedangkan menurut Rosenfield dan Fathalla (1990) sebesar 10 persen. Oleh karena itu, hingga kini Angka Kematian Ibu di Indonesia (390 per 100.000 kelahiran tahun 2000) masih menduduki urutan teratas di Asia Tenggara, walaupun kontribusi aborsi sering tidak dilihat sebagai salah satu faktor tingginya angka tersebut.[7] Untuk memperjelas mengenai tingginya Angka Kematian Ibu di Indonesia maka dapat dilihat tabel berikut ini.
Tabel 1. Angka Kematian Ibu di Negara-negara ASEAN
Negara-Negara ASEAN |
Angka Kematian Ibu (AKI) Tahun 1980-1998 |
Indonesia |
450 |
Filipina |
170 |
Thailand |
44 |
Malaysia |
39 |
Singapura |
6 |
Sumber: UNICEF. The State of the World’s Children 2000. New York: UNICEF, 2000, hal 40-43.
Berdasarkan tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa angka kematian ibu di Indonesia mempunyai jumlah yang tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Hal ini merupakan fakta yang memprihatinkan dan karenanya ingin ditekan jumlahnya oleh pemerintah.
Studi pada periode 70-an menemukan, ternyata aborsi juga terjadi pada perempuan yang telah menikah, yang tidak menginginkan tambahan anak tetapi tidak menggunakan kontrasepsi atau mengalami kegagalan kontrasepsi yang dikenal dengan unmet need. Pada dekade 90-an ternyata pola ini tidak berubah. Sebuah studi di Bali menemukan kenyataan 71% dari perempuan yang melakukan aborsi adalah wanita yang tidak menikah, begitu pula dengan Jakarta. Sebuah studi yang dilakukan Population Council di sebuah klinik aborsi swasta dan pemerintah di Jakarta tahun 1996-1997 menemukan kenyataan 98,9% perempuan klien di klinik swasta telah menikah dan rata-rata telah memiliki anak. Data yang tersedia tersebut sebelum krisis ekonomi tidak dapat dibandingkan dengan data setelah krisis ekonomi karena perbedaan terminologi aborsi dan komplikasinya.
Data tentang aborsi yang dikumpulkan dari pencatatan di satu Klinik Swasta untuk periode 1 Januari 1996 sampai dengan 10 September 1997 dan satu Klinik Pemerintah untuk periode 1 Januari 1996 sampai dengan 31 Desember 1997 memberikan hasil bahwa:
[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, hal. 187.
[2] Pikiran Rakyat, Sang Janin Menjerit dan Meronta Di Kesunyian, 20 Desember, 1997, hal 11.
[3] Sumarto, Lagi, Ditemukan Janin Hasil Aborsi, Kedaulatan Rakyat, 23 Februari 2004, hal. VIII.
[4] Wikantyoso, Bayi Ditinggal di Depan Yayasan Sayap Ibu, Kedaulatan Rakyat, 12 Maret 2005, hal. VIII.
[5] Kompas, Ada 2,3 Juta Aborsi di Indonesia Setiap Tahun, 3 Maret 2000, hal 10.
[6] Suara Merdeka, Aborsi di Indonesia, 27 Februari 2000, hal 8.
[7] Gender Kesrepro. Info. Aborsi Di Indonesia, www.geogle .com. Juni 2002.
- Baca selengkapnya »
===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================