Did You Know? Major contributor to Delhi's air pollution are vehicles.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia yang sedang giat dalam melaksanakan reformasi pembangunan sangat membutuhkan suatu kondisi yang dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Salah satu kondisi tersebut adalah penegakan supremasi hukum yang merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan dan berhasilnya pelaksanaan pembangunan nasional sesuai dengan jiwa reformasi. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk memelihara ketertiban, keamanan, kedamaian dan kepastian hukum yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia.

Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan. Sumber kejahatan korupsi ini kita jumpai dalam masyarakat modern dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik kualitas maupun kuantitasnya. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit penamggulangan maupun pemberantasannya.

Perbuatan korupsi dapat saja mempunyai dua motif sekaligus, yakni korupsi yang sepintas lalu hanya mendapatkan uang tetapi sesungguhnya sudah dipersiapkan untuk kepentingan politik, demikian pula korupsi yang kelihatannya hanya merugikan di bidang perekonomian tetapi dapat juga misalnya dipergunakan untuk mempengaruhi jalannya pemilihan umum agar mengalami kegagalan melalui manipulasi suara (Bambang Purnomo, 1983 : 14).

Kesulitan tersebut terutama terjadi dalam proses pembuktian. Hal ini dikarenakan korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasi yang memiliki intelektualitas tinggi (white collar crime). Untuk mengungkap perkara korupsi salah satu aspeknya adalah sistem pembuktian yang terletak pada beban pembuktian.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat juga ketentuan pembuktian yang menyimpang dari ketentuan pembuktian perkara pidana biasa. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah :

  1. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta kekayaan keluarga dan setiap badan hukum yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara korupsi tersebut (Pasal 6 jo. Pasal 18 ayat (1) UU No. 3 Th. 1971).
  2. Apabila diperlukan Bank wajib memberikan keterangan mengenai keadaan keuangan terdakwa dan keluarganya atas permintaan Jaksa Agung/Mahkamah Agung dengan ijin Menteri Keuangan (Pasal 9 jo. Pasal 22 UU No. 3 Th. 1971).
  3. Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk membuktikan ia tidak bersalah melakukan perbuatan pidana korupsi, tanpa mengurangi kewajiban penuntut umum untuk tetap membuktikan kesalahan terdakwa (Pasal 17 ayat (1) UU No. 3 Th. 1971).
  4. Apabila terdakwa tidak berhasil memberikan keterangan memuaskan dalam sidang pengadilan tentang sumber kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat dipergunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa ia telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 18 ayat (2) UU No. 3 Th. 1971).
  5. Kecuali beberapa anggota keluarga dekat, setiap orang wajib memberikan keterangan sebagai saksi sekalipun mereka menurut hukum wajib merahasiakan pengetahuannya berhubung dengan martabat, jabatan, dan kedudukannya kecuali petugas agama (Pasal 20 jo. Pasal 21 UU No. 3 Th. 1971).
  6. Jika terdakwa telah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam sidang tanpa memberikan alasan yang sah maka ia dapat diperiksa dan diputus di luar kehadirannya (Pasal 23 UU No. 3 Th. 1971).

Menurut Bambang Purnomo :

Adanya pembuktian khusus yang berlainan dengan perkara pidana biasa berhubung sangat sulitnya pembuktian perkara korupsi, di mana pembuat delik korupsi mempunyai kecakapan atau pengalaman dalam suatu pekerjaan tertentu yang memberikan kesempatan korupsi (Bambang Purnomo, 1984 : 67).

Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor:

Hp/Wa. 0812 2701 6999 atau 0817 273 509. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :)

Menurut ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hak-hak seorang terdakwa berdasarkan azas praduga tak bersalah terasa agak dikurangi. Alasan yang dipergunakan oleh pembentuk Undang-Undang adalah karena sulitnya pembuktian perkara korupsi dan bahaya yang diakibatkan oleh perbuata korupsi tersebut.

Salah satu ketentuan yang sangat menyimpang dari azas praduga tak bersalah adalah ketentuan mengenai pembagian-pembagian beban pembuktian. Terdakwa diperkenankan oleh hakim untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi, tanpa mengurangi kewajiban Penuntut Umum untuk tetap membuktikan kesalahan terdakwa.

Menurut Bambang Purnomo :

Ketentuan seperti tersebut diatas memberikan gambaran watak hukum yang mengandung isi kontradiktif sekaligus menjamin dua macam kepentingan yang saling berhadapan, yaitu disatu pihak terdakwa telah dapat membuktikan menurut Undang-Undang bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi dilain pihak Penuntut Umum tetap mempunyai kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa (Bambang Purnomo, 1984 : 73).

Dalam pembuktian pada perkara tindak pidana biasa terdakwa tidak dibebani kewajiban untuk melakukan pembuktian, sehingga pembuktian mutlak diletakkan dalam tangan Penuntut Umum. Pengertian semacam ini berpokok pada azas dari hukum pidana yaitu azas praduga tak bersalah, di mana terdakwa belum dapat dianggap bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Pembuktian perkara korupsi sangat berhubungan erat dengan pengurangan hak asasi dari seorang terdakwa, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian perkara tersebut diserahkan pada kebijaksanaan hakim dalam penerapannya di pengadilan dengan tetap mengingat bahaya yang diakibatkan perbuatan korupsi.

B. Perumusan Masalah

Pembuktian merupakan bagian terpenting dari seluruh rangkaian

pemeriksaan suatu perkara, karena suatu putusan pada hakekatnya didasarkan dari adanya pembuktian tersebut. Telah diketahui dalam pemeriksaan perkara korupsi dikenal adanya pembuktian khusus yang menyimpang dari ketentuan pembuktian umum perkara pidana biasa. Penyimpangan–penyimpangan dalam pembuktian perkara korupsi walaupun berakibat pengurangan hak asasi terdakwa tetap diperlukan berhubung sangat sulitnya pembuktian perkara korupsi.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

Langkah-langkah apakah yang akan ditempuh oleh para penegak hukum dalam melakukan pembuktian, khususnya perkara korupsi di pengadilan?

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan subyektif

Sebagai sarana untuk memperoleh data dalam rangka penyusunan skripsi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta.

2. Tujuan Obyektif

a. Mengetahui dalam keadaan bagaimanakah pembuktian khusus perkara korupsi dapat diterapkan pada sidang pengadilan.

b. Bagi kepentingan praktek diharapkan hasil dari penelitian ini akan bermanfaat dalam membantu para pengambil keputusan khususnya hakim untuk menentukan putusan.

D. Kegunaan Penelitian

1. Teoritis

a. Untuk melaksanakan serta mengamalkan salah satu dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu penelitian dimana hasilnya akan dievaluasi atau dianalisa untuk kepentingan ilmiah yang akan bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan.

b. Bagi peneliti untuk dapat memantapkan para tenaga peneliti yang sudah ada atau calon tenaga peneliti, guna memperoleh pengalaman di bidang penelitian.

2. Praktis

a. Untuk kepentingan nasional yakni menunjang pembinaan hukum nasional, dengan mengusahakan penemuan-penemuan dari kenyataan dalam praktek yang dapat dijadikan dasar atau bahan dalam pengambilan kebijaksanaan dan keputusan.

b. Bagi aparat penegak hukum yaitu untuk mengetahui secara mendalam dan tuntas permasalahan-permasalahan yang diteliti, demi perbaikan-perbaikan dan pengembangan hukum dan agar supaya aparat penegak hukum dapat mengambil tindakan yang tegas dan tepat.

    Baca selengkapnya »

===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================

Judul terkait:

Keyword:

pembuktian pidana (23), PERKARA PIDANA (19), contoh perkara pidana (13), latar belakang korupsi (11)

Layanan Referensi & Konsultan Skripsi Tesis & Disertasi   No.HP/WA.0812 2701 6999  / 0817 273 509