SENGKETA PEMELIHARAAN ANAK DI BAWAH UMUR SEBAGAI AKIBAT PERCERAIAN DAN PENYELESAIANNYA PADA PENGADILAN AGAMA DI DAERAH KOTA YOGYAKARTA
Jul 4th, 2008 by admin3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1 Th. 1974 adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun demikian tidak setiap perkawinan dapat mencapai tujuan tersebut dengan baik. Ada perkawinan yang mengalami masalah yang sangat besar sehingga perkawinan tersebut terpaksa diputuskan dengan perceraian.
Perceraian merupakan perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah. Allah memang membenci perceraian akan tetapi apabila dengan mempertahankan perkawinan itu akan lebih besar mudharatnya daripada manfaatnya, maka perceraian itu diperbolehkan.
Bagi orang Islam perceraian dilakukan dengan mengajukan permohonan cerai kepada Pengadilan Agama, sedangkan bagi orang selain Islam mengajukan permohonan cerai kepada Pengadilan Negeri (Soemiyati, 1986 : 56). Dalam memutuskan apakah akan mengabulkan permohonan cerai atau tidak, Pengadilan akan mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya agar keputusan yang diambil benar-benar yang terbaik. Pada umumnya pada awal pemeriksaan di Pengadilan, Majelis Hakim akan berusaha mendamaikan terlebih dahulu suami isteri yang akan bercerai itu. Apabila terjadi perdamaian maka permohonan cerai itu dianggap batal dan suami isteri itu tetap menjadi suami isteri yang sah (Wirjono Prodjodikoro, 1990 : 23).
Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan oleh suami isteri yang akan melakukan perceraian adalah masalah anak yang telah dilahirkan dalam perkawinan itu. Dalam hal ini perceraian akan membawa akibat hukum terhadap anak, yaitu anak harus memilih untuk ikut ayah atau ikut ibunya (Abdurrahman, 1990 : 27). Hal ini merupakan suatu pilihan yang sama-sama memberatkan, karena seorang anak membutuhkan kedua orang tuanya. Meskipun demikian karena konsekuensi perceraian adalah seperti itu, maka anak tetap harus memilih untuk ikut salah satu orang tuanya. Dalam sidang Pengadilan yang menangani perceraian, untuk anak yang masih belum berumur 12 tahun (belum mumayyiz) biasanya hakim memutuskan ikut dengan ibunya (K. Wantjik Saleh, 1980 : 43). Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa anak dengan umur seperti itu masih sangat membutuhkan kasih sayang ibunya. Ini bukan berarti ayah tidak sanggup memberikan kasih sayang yang dibutuhkan anak, akan tetapi seorang ayah biasanya sibuk bekerja sehingga waktu yang dimiliki untuk memperhatikan anak kurang.
Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor: HP. 0819 0405 1059/ 0812 2701 6999 atau Telp.0274-9553376. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :) |
Walaupun telah ada ketentuan-ketentuan hukum perundangan yang memberikan hak pemeliharaan anak yang belum mumayyiz kepada ibunya, akan tetapi dalam hal anak yang belum mumayyiz itu sudah bisa memilih untuk ikut ayahnya atau ikut ibunya, maka anak diberikan kesempatan untuk memilih sendiri (Kamal Mukhtar, 2004 : 89). Kesempatan untuk memilih itu semata-mata untuk kepentingan anak itu sendiri, yaitu dengan siapa anak merasa lebih tenteram, sehingga tidak akan ada perasaan terpaksa dan tertekan bagi anak. Perasaan yang terpaksa dan tertekan akan memberi pengaruh buruk bagi perkembangan anak itu pada akhirnya, sehingga Pengadilan Agama memberi kelonggaran bagi anak untuk memilih sendiri untuk ikut siapa.
Bagi orang tua yang diberi hak untuk memelihara anak, harus memelihara anak dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan anak bukan hanya meliputi memberi nafkah lahir saja, tetapi juga meliputi nafkah batin seperti pendidikan formal dan pendidikan informal. Dalam hal ini siapapun yang melakukan pemeliharaan anak, menurut Pasal 41 UU No. 1 Th. 1974 ayah tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan dan nafkah anak sampai anak berumur 21 tahun. Bagi salah satu orang tua yang melalaikan kewajibannya tersebut menurut Pasal 49 UU No. 1 Th. 1974 dapat dicabut kekuasaannya atas permintaan orang tua yang lain.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian tentang hal tersebut dan menuliskan hasilnya dalam penulisan hukum.
B. Perumusan Masalah
Ada beberapa masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu:
- Apa saja dasar pertimbangan Hakim dalam menyerahkan pemeliharaan anak tersebut kepada salah satu dari orang tua?
- Bagaimana di dalam prakteknya apabila orang tua yang diserahi pemeliharaan anak melalaikan kewajibannya?
- Baca selengkapnya »
===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================