TINJAUAN YURIDIS TENTANG GUGATAN BIAYA PEMELIHARAAN ANAK SETELAH PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SLEMAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
Jul 4th, 2008 by admin3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap perkawinan bertujuan untuk membina keluarga yang bahagia dan kekal dengan ridho Allah. Kebahagiaan dan kekekalan perkawinan ini kadang kala tidak dapat berlangsung lama atau dengan kata lain ada perkawinan yang akhirnya tidak mengalami kebahagiaan dan berakhir dengan perceraian.
Perceraian dalam istilah ahli fiqih disebut talak atau furqah. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Furqah berarti bercerai, yang merupakan lawan dari berkumpul. Kemudian kedua perkataan ini dijadikan istilah oleh para ahlifiqih yang berarti perceraian antara suami isteri.[1]
Tidak ada seorangpun ketika melangsungkan perkawinan mengharapkan akan mengalami perceraian, apalagi jika dari perkawinan itu telah dikaruniai anak. Walaupun demikian ada kalanya ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat lagi diteruskan sehingga terpaksa harus terjadi perceraian antara suami
isteri.[2]
Untuk melakukan perceraian salah satu dari pihak suami atau isteri mengajukan permohonan atau gugatan cerai ke Pengadilan. Dalam hal ini Pengadilan yang dituju adalah Pengadilan Agama untuk yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri untuk yang beragama selain Islam.
Jika setelah diperiksa ternyata ada alasan yang cukup untuk mengabulkan gugatan cerai yang diajukan tersebut, maka Majelis Hakim akan mengabulkan permohonan atau gugatan cerai tersebut.
Dengan telah bercerainya pasangan suami isteri, maka berakibat terhadap tiga hal, pertama putusnya ikatan suami isteri, kedua harus dibaginya harta perkawinan yang termasuk harta bersama, dan ketiga pemeliharaan anak harus diserahkan kepada salah seorang dari ayah atau ibu.
Dalam kaitannya dengan ketiga akibat perceraian ini, maka ketika mengajukan permohonan perceraian, para pihak dapat mengajukan permohonan putusan pembagian harta dan pemeliharaan anak bersama dengan permohonan cerai, atau dapat pula mengajukan permohonan sendiri-sendiri secara terpisah (Pasal 66 ayat (5) UU No. 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama). Terhadap permohonan ini Majelis Hakim akan membuka sidang untuk memeriksa apakah permohonan tersebut layak dikabulkan atau tidak.
Untuk permohonan yang berkaitan dengan biaya pemeliharaan anak yang dibebankan kepada ayah, Majelis Hakim akan mengabulkan permohonan tersebut baik sebagian atau seluruhnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan nilai keadilan yang berkembang di dalam masyarakat.
Seperti telah tersinggung diatas bahwa perceraian menimbulkan akibat bagi anak yang telah lahir dalam perkawinan tersebut. Di dalam UU No. 1 Th. 1974 ketentuan mengenai akibat perceraian terhadap anak diatur dalam 41. Adapun isi dari pasal tersebut adalah :
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusan.
2. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaan pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Dan Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
Jadi menurut UU No. 1 Th. 1974 walaupun orang tua sudah bercerai, mereka masih terikat pada kewajiban untuk memelihara anak-anak yang telah lahir dari perkawinan mereka. Juga dapat diketahui bahwa baik ibu ataupun bapak mempunyai hak yang sama terhadap pemeliharaan anak.
Dalam hal ini dengan siapapun anak ikut, ayah sebagai mantan suami tetap berkewajiban memberikan nafkah kepada anak untuk biaya hidup dan pendidikannya sampai anak menjadi dewasa atau anak tersebut telah kawin. Namun demikian ibu juga dapat ditetapkan untuk ikut memikul beban biaya pemeliharaan anak tersebut.
Bagi orang yang beragama Islam ketentuan tentang pemeliharaan anak dapat dilihat dalam Instruksi Presiden No. 1 Th. 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.[3]
Sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 1 Th 1974 bagi orang-orang yang beragama Islam, Kompilasi Hukum Islam mengatur juga ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pemeliharaan anak setelah perceraian. Ketentuan ini dimuat dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi sebagai berikut :
1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
2. Pemeliharaan yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor: HP. 0819 0405 1059/ 0812 2701 6999 atau Telp.0274-9553376. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :) |
Jika dibandingkan dengan ketentuan Pasal 41 UU No. 1 Th. 1974 ketentuan yang diatur oleh Kompilasi Hukum Islam hampir sama, hanya saja di dalam Kompilasi Hukum Islam ditetapkan batas umur anak yang pemeliharaannya merupakan hak ibu, yaitu anak yang belum berumur 12 tahun (belum mumayyiz), sedang untuk anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak sendiri untuk ikut ayahnya atau ibunya.
Namun demikian adanya ketentuan Kompilasi Hukum Islam seperti di atas tidak menutup kemungkinan bahwa anak yang belum mumayyiz dipelihara oleh ayahnya. Menurut Abdurrahman bahwa anak yang belum mumayyiz yang sudah dapat memilih untuk ikut ayah atau ikut ibunya, maka yang menjadi pilihan anak itulah yang berhak
memeliharanya.[4]
Hal ini diperkuat pula oleh Ahmad Azhar Basyir yang mengatakan bahwa yang terpenting dari seorang pemelihara anak adalah anak itu tenteram tinggal bersamanya dan orang itu mampu mendidik anak yang bersangkutan.[5]
Dalam prakteknya kadang terjadi bahwa terhadap putusan penetapan biaya pemeliharaan anak yang dibebankan kepada ayah ternyata tidak dipatuhi mantan suami, sehingga ibu yang memelihara anak menjadi kesulitan dalam menghidupi dan memelihara anaknya. Dalam keadaan demikian ibu dapat mengajukan gugatan pemenuhan kewajiban pemberian biaya pemeliharaan anak tersebut ke Pengadilan, dan selanjutnya menunggu keputusan Hakim terhadap permohonan tersebut.
Dari apa yang dikemukakan diatas, menimbulkan minat saya untuk mengetahui lebih jauh mengenai perkara-perkara gugatan biaya pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian di Pengadilan Agama Kabupaten Sleman setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Untuk itu Saya mengadakan penelitian dan menuangkan hasilnya dalam karya ilmiah berbentuk skripsi.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat di rumuskan masalah-masalah sebagai berikut :
1. Apa saja alasan suami yang lalai untuk memberikan biaya pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian?
2. Apakah gugatan biaya pemeliharaan anak setelah perceraian pasti dikabulkan dalam prakteknya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui alasan yang diberikan suami yang tidak memberikan biaya pemeliharaan anak.
b. Untuk mengetahui dikabulkan/tidaknya gugatan biaya pemeliharaan anak setelah perceraian dalam prakteknya.
2. Manfaat penelitian
a. Bagi Universitas Janabadra
Dapat dijadikan sebagai salah satu masukan bagi Fakultas Hukum Universitas Janabadra, khususnya dalam bidang Hukum Keluarga.
b. Bagi penulis
Dengan adanya penelitian ini maka penulis dapat mengetahui
penyelesaian terhadap gugatan biaya pemeliharaan anak setelah perceraian.
D. Metode Penelitian
Penelitian yang di lakukan meliputi :
1. Penelitian pustaka
Penelitian ini bertujuan mencari data dengan cara membaca dan mempelajari teori-teori, undang-undang, dan ketentuan lain yang ada hubungannya data-data yang diperlukan.
a. Lokasi
Penelitian dilakukan di Kabupaten Sleman.
b. Responden
1) Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Sleman.
2) Dua orang isteri yang mengajukan gugatan biaya pemeliharaan anak setelah perceraian di Pengadilan Agama Kabupaten Sleman.
c. Cara pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab secara langsung dengan reponden.
c. Analisis data
Untuk menjawab rumusan permasalahan dalam skripsi ini
digunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu dengan menggambarkan kasus-kasus gugatan pemeliharaan anak setelah perceraian di Pengadilan Agama Sleman dan dibandingkan dengan teori yang ada, untuk mengetahui kesesuaian dan kemungkinan penyimpangannya antara teori dengan praktek di lapangan, kemudian hasilnya ditulis dalam karya ilmiah berbentuk skripsi.
[1] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang,
[2] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang No. 1 Th. 1974 Tentang Perkawinan),
[3] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, BPFH UII,
[4] Abdurrahman, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Bulan Bintang,
[5] Ahmad Azhar Basyir, op. cit., hal. 80.
- Baca selengkapnya »
===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================