TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEMBERIAN HAK PATEN SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENEMU DI BIDANG TEKNOLOGI DI INDONESIA
Jun 15th, 2007 by admin2
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEMBERIAN HAK PATEN SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENEMU DI BIDANG TEKNOLOGI DI INDONESIA
A. Latar Belakang Masalah
Sejak pembangunan jangka panjang tahap pertama bangsa
Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya meliputi pengertian yang sangat luas antara lain terciptanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan lingkungannya, antara manusia dengan sesama manusia, keseimbangan antara bidang materiil dan spirituil, keseimbangan antara kehidupan sosial dan pribadi, keseimbangan antara hak dan kewajibannya, dan seterusnya. Di lain pihak pengertian pembangunan masyarakat
Disadari pula bahwa syarat pembangunan yang berhasil adalah adanya partisipasi aktif dari seluruh masyarakat. Hal ini dikarenakan manusia adalah subyek sekaligus obyek dari pembangunan. Sebagai subyek pembangunan berarti masyarakat menjadi pelaku pembangunan dengan memberikan sumbangan pikiran, waktu, tenaga dan dana. Sebagai obyek pembangunan maka masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan bahwa pembangunan bertujuan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan dapat dimanifestasikan dalam berbagai bidang kehidupan sesuai dengan situasi dan kondisi serta bidang kerja masing-masing. Salah satu contoh partisipasi aktif masyarakat adalah dengan menyumbangkan penemuannya di bidang teknologi.
Dewasa ini pembangunan memegang peranan yang sangat vital. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia telah sampai kepada tahap mewujudkan struktur ekonomi dengan titik berat kekuatan industri yang didukung oleh pertanian yang kuat. Untuk itu faktor yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan akan teknologi, karena teknologi adalah faktor penentu dalam pertumbuhan dan perkembangan industri. Adapun teknologi yang digunakan dapat berasal dari dalam negeri atau dari luar negeri, keduanya sama pentingnya.
Sebagai ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam proses industri, teknologi lahir dari kegiatan penelitian dan pengembangan (Research and Development/R & D). Kegiatan tersebut dapat saja berlangsung dalam bentuk dan cara sederhana, tetapi dapat pula dalam bentuk dan cara yang memakan waktu. Teknologi yang lahir dari kegiatan penelitian dan pengembangan ini pun dapat beraneka ragam sesuai dengan jenis dan manfaatnya. Akan tetapi bagaimanapun bentuk, cara penemuan, waktu, tenaga dan biaya yang terlibat dalam kegiatan tersebut, teknologi tetap memiliki arti dan peran khusus dalam industri. Dengan teknologi itu pula, segi teknis dan ekonomis suatu produk industri akan ditentukan nilainya di pasar.
Dengan memperhatikan arti dan peran teknologi yang begitu penting dalam industri, maka tidaklah mungkin apabila pencapaian sasaran pembangunan industri nasional dapat dilakukan dengan mengabaikan teknologi. Oleh karena itu langkah untuk menciptakan iklim atau suasana yang baik dan mampu mendorong gairah atau semangat penemuan teknologi menjadi sangat penting. Setidaknya penciptaan iklim yang mempermudah bangsa Indonesia untuk mengetahui dan meningkatkan pengetahuan dalam menguasai teknologi. Bersamaan dengan langkah untuk menciptakan iklim atau suasana seperti itu, harus diberikan pula perlindungan hukum yang memadai.
Perlindungan hukum yang diberikan ini berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban atas penemuan teknologi yang dipatenkan. Dengan adanya perlindungan hukum penemu dapat melaksanakan penemuannya dengan perasaan aman, di lain pihak penemu juga harus menjalankan kewajiban-kewajiban berkaitan dengan penemuannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangkaian kegiatan penegakan hak dan kewajiban terhadap penemuan di bidang teknologi ini, suatu penemuan yang tidak dipatenkan dapat terancam penerapan penemuannya secara tanpa hak oleh orang lain tanpa dapat meminta perlindungan hukum. Sementara itu penemuan yang dipatenkan akan mendapat perlindungan hukum yang berlaku sehingga jika terjadi penerapan penemuannya secara tanpa hak ia dapat meminta perlindungan hukum.
Dengan melihat pentingnya peranan perlindungan hukum terhadap penemuan di bidang teknologi, maka hal demikian menimbulkan minat penulis untuk membuat karya ilmiah dengan judul Tinjauan Yuridis Tentang Pemberian Hak Paten Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Penemu di Bidang Teknologi di Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap penemu di bidang teknologi di Indonesia?
2. Bagaimana upaya hukum yang dapat ditempuh oleh penemu apabila terjadi pelanggaran terhadap penemuan di bidang teknologi?
3. Bagaimana penyelesaiannya jika terjadi pelanggaran penemuan di bidang teknologi?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
1. Maksud Penelitian
a) Sebagai syarat akademis yang harus ditempuh untuk
memperoleh gelar Magister Hukum pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
b) Untuk mengetahui praktek perlindungan hukum terhadap penemuan di bidang teknologi.
2. Tujuan Penelitian
a) Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap penemu di bidang teknologi di Indonesia.
b) Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat ditempuh oleh penemu apabila terjadi pelanggaran terhadap penemuan di bidang teknologi.
c) Untuk mengetahui penyelesaiannya jika terjadi pelanggaran penemuan di bidang teknologi.
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini dapat diketahui tentang perlindungan hukum terhadap penemu atas penemuannya di bidang teknologi serta hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran paten dan penyelesaiannya.
E. Tinjauan Pustaka
Setiap penemuan di bidang teknologi pada dasarnya dapat diberi paten. Untuk mendapatkan paten maka sebuah penemuan harus didaftarkan di Kantor Paten. Dengan telah didaftarkannya penemuan itu maka akan diberikan perlindungan hukum terhadap penemuan tersebut dari pelanggaran oleh orang lain yang tidak berhak. Namun tidak semua penemu mempunyai kesadaran untuk mendaftarkan penemuannya. Hal ini banyak disebabkan karena ketidaktahuan penemu bahwa dengan tidak didaftarkannya penemuannya, maka perlindungan hukum yang diberikan kepada penemuannya tidak bisa maksimal. Dalam arti bahwa terhadap orang yang melanggar penemuan tersebut tidak akan dapat diberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Karena ia dapat saja berkelit bahwa dia tidak tahu bahwa penemuan itu adalah milik orang lain, karena penemuan itu tidak mempunyai paten.
Setelah sebuah penemuan didaftarkan, maka kepada penemuan tersebut diberi nomor register paten yang dimuat di dalam Daftar Paten. Dengan telah didaftarkannya panemuan di dalam Daftar Paten ini maka kepada penemu diberikan perlindungan yang maksimal kepada penemu. Dalam arti apabila terjadi pelanggaran paten terhadap penemuan tersebut maka kepada pelakunya dapat diberikan sanksi yang tegas sebagaimana di atur di dalam UU No. 14 Th. 2001.
Pendaftaran paten menganut sistem konstitutif, artinya bahwa orang yang pertama kali mendaftarkan penemuan dianggap sebagai penemu (Prakoso, 2001: 45). Oleh karena itu kepada setiap penemu yang telah selesai penemuannya hendaknya sesegera mungkin mendaftarkan penemuannya. Hal ini untuk mengantisipasi adanya orang lain yang menyabotase penemuan itu dengan cara mendaftarkannya sebagai penemuan miliknya sendiri. Apabila hal ini terjadi maka untuk dapat mengembalikan paten penemuan itu kepada penemu yang sebenarnya, maka penemu yang sebenarnya harus dapat membuktikan bahwa penemuan itu memang benar-benar miliknya. Proses pembuktian ini sulit serta memakan waktu dan biaya. Untuk menghindari terjadinya hal semacam itu, maka penemu harus sesegera mungkin mendaftarkan penemuannya.
Di dalam praktek yang dianut secara luas oleh bangsa-bangsa di dunia hak paten diakui sebagai hak milik yang tidak berwujud. Sebagai suatu hak, sebagian atau seluruh hak paten dapat dialihkan kepada orang lain. Cara yang dapat ditempuh untuk mengalihkan paten adalah melalui pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian atau cara lain yang dibenarkan oleh undang-undang (Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Th. 2001).
Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor: Hp/Wa. 0812 2701 6999 atau 0817 273 509. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :) |
Cara pengalihan paten melalui perjanjian lazim dikenal dengan lisensi. Lisensi adalah (Djumhana dan Djubaedillah, 2002: 25):
“Pengalihan seluruhnya atau sebagian hak penemu yang berupa hak untuk membuat, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, memakai, menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan hasil produksi yang diberi paten dan juga menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya.”
Tindakan-tindakan “…….membuat, menjual, mengimpor, menyewakan,……”disebut sebagai tindakan melaksanakan penemuan. Setiap orang yang ingin melaksanakan penemuan sebelumnya harus mendapat izin terlebih dahulu dari penemu yang memegang paten penemuan itu. Jika seseorang telah melaksanakan penemuan tanpa meminta izin terlebih dahulu dari penemu atau pemegang paten, maka dikatakan bahwa orang itu telah melakukan pelanggaran paten. Terhadap orang yang melakukan pelanggaran paten ini dapat dikenai hukuman sebagaimana diatur di dalam UU No. 14 Th. 2001 .
Perlindungan hukum terhadap invensi yang dipatenkan diberikan untuk masa jangka waktu tertentu. Selama masa jangka waktu tertentu, penemunya dapat dilaksanakan sendiri Invensinya atau menyerahkan kepada orang lain untuk melaksanakan, baru setelah itu Invensi yang dipatenkan tersebut berubah menjadi milik umum atau berfungsi sosial. Masa jangka waktu perlindungan hukum terhadap paten ini dicantumkan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001 yang menyatakan, bahwa paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang. Berbeda dengan ketentuan yang lama, masa jangka waktu perlindungan hukum paten selama 14 (empat belas) tahun terhitung sejak penerimaan permintaan paten dan dapat diperpanjang lagi satu kali untuk masa jangka waktu selama 2 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 43 Undang-Undang Paten Nomor 7 Tahun 1989.
Perhitungan masa jangka waktu perlindungan hukum terhadap paten tersebut, dimulai sejak tanggal penerimaan. Sejak tanggal penerimaan paten inilah dilakukan perhitungan perlindungan paten tersebut harus dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. Kewajiban ini menyatakan, bahwa: tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu paten dicatat dan diumumkan. Dalam ayat ini dan dalam ketentuan-ketentuan selanjutnya dalam undang-undang ini adalah dicatat dalam Daftar Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. Di negara-negara yang sudah maju ekonominya umumnya paten diberikan untuk jangka waktu antara 15 tahun.
Dengan adanya batas waktu tertentu dari perlindungan hukum yang diberikan kepada paten penemuan, maka setelah berakhirnya jangka waktu tersebut, maka penemuan tersebut menjadi milik umum. Dalam arti bahwa setelah selesainya jangka waktu perlindungan yang diberikan, maka setiap orang berhak untuk melaksanakan penemuan itu tanpa harus meminta lisensi terlebih dahulu dari penemu atau pemegang paten.
Dalam Undang-undang Paten yang baru ini, penyelesaian sengketa paten dapat dilakukan melalui proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan, di samping proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Proses pengadilan dalam menyelesaikan suatu sengketa pada umumnya akan memakan waktu yang lama dan biaya yang besar. Mengingat sengketa paten berkaitan erat dengan masalah perekonomian dan perdagangan yang harus tetap berjalan, penyelesaian sengketa paten dapat dilakukan melalui Arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa, selain relatif lebih cepat, biayanya pun lebih ringan. Demikian pula dalam Undang-undang Paten yang baru ini, penyelesaian perdata di bidang paten tidak dilakukan di Pengadilan Negeri, tetapi dilakukan di Pengadilan Niaga.
Jika pemegang paten atau penerima lisensi mendapati invensi yang dimilikinya diberikan atau digunakan orang lain yang tidak berhak, dapat menggugat hal tersebut ke Pengadilan Niaga sebagaimana diatur dalam Pasal 117 sampai dengan Pasal 124 Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001.
(1) Jika suatu Paten diberikan kepada pihak lain selain dari yang berhak berdasarkan Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, pihak yang berhak atas Paten tersebut dapat menggugat kepada Pengadilan Niaga.
(2) Hak menggugat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berlaku surut sejak Tanggal Penerimaan.
(3) Pemberitahuan isi putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada para pihak oleh Pengadilan Niaga paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan.
(4) Isi putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat dan diumumkan oleh Direktorat Jenderal.
Dari pasal 117 ini, seseorang yang berhak atas paten berdasarkan Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, tetapi diberikan kepada pihak lain yang tidak berhak, pihak yang merasa berhak dapat menggugat orang lain yang telah diberikan paten tersebut ke Pengadilan Niaga. Selanjutnya, isi putusan atas gugatan itu wajib diberitahukan dan disampaikan kepada para pihak oleh Pengadilan Niaga paling lama 14 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan dan juga wajib dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten oleh Direktorat Jenderal HaKI.
Dalam hak Paten, selain melekat hak moral, juga melekat hak ekonomis. Karena Pasal 118 menentukan bahwa pemegang paten atau penerima lisensi berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pangadilan Niaga setempat terhadap siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan membuat, menggunakan, menjual, mengimport, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten, atau menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya. Gugatan ganti rugi tersebut hanya dapat diterima apabila produk atau proses itu terbukti dibuat dengan menggunakan invensi yang telah diberi paten. Isi putusan Pengadilan Niaga tentang gugatan dimaksud disampaikan kepada Direktorat Jenderal HaKI paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal putusan diucapkan untuk dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.
Pasal 118 ini menunjukan suatu bukti bahwa hak paten itu merupakan hak kebendaan, karena terhadap orang lain yang tidak berhak, hak tersebut dapat dipertahankan, bahkan terhadap siapapun juga. Salah satu ciri hak kebendaan, bahkan hak itu terus mengikuti di mana pun benda (immateriil)-nya berada (asas droit de suite) (Saidin, 1995: 212).
Mengenai pembuktian terbalik dalam kaitan dengan penanganan sengketa paten proses, Pasal 119 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan sebagai berikut:
(1) Dalam hal pemeriksaan gugatan terhadap paten proses, kewajiban pembuktian bahwa suatu produk tidak dihasilkan dengan menggunakan paten-proses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b dibebankan kepada pihak tergugat apabila:
a) Produk yang dihasilkan melalui paten-proses tersebut merupakan produk baru;
b) Produk tersebut diduga merupakan hasil dari paten-proses dan sekalipun telah dilakukan upaya pembuktian yang cukup untuk itu, pemegang paten tetap tidak dapat menentukan proses apa yang digunakan untuk menghasilkan produk tersebut.
(2) Untuk kepentingan pemeriksaan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan berwenang:
a) Memerintahkan kepada pemegang paten untuk terlebih dahulu menyampaikan salinan sertifikat paten bagi proses yang bersangkutan dan bukti awal yang menjadi dasar gugatannya;dan
b) Memerintahkan kepada pihak tergugat untuk membuktikan bahwa produk yang dihasilkannya tidak menggunakan paten-proses tersebut.
Dari bunyi ketentuan Pasal 119 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001 tersebut, dapat diketahui bahwa proses pemeriksaan gugatan terhadap paten proses dilakukan dengan menggunakan beban pembuktian terbalik. Penerapan beban pembuktian terbalik ini dilakukan mengingat sulitnya penanganan sengketa paten proses. Beban pembuktian terbalik akan digunakan bila produk yang dihasilkan melalui paten proses tersebut merupakan produk baru atau produk tersebut diduga merupakan hasil paten proses dan sekalipun telah dilakukan upaya pembuktian yang cukup, tetapi pemegang paten tidak dapat menentukan proses apa yang digunakan menghasilkan produk tersebut. Sekali beban pembuktian dalam proses pemeriksaan gugatan paten proses berada ditangan pihak tergugat, guna menjaga keseimbangan kepentingan yang wajar di antara para pihak, hakim tetap diberi kewenangan untuk memerintahkan kepada pemilik paten untuk terlebih dahulu menyampaikan bukti salinan sertifikat paten bagi proses yang bersangkutan serta bukti awal yang memperkuat dugaan itu. Dengan demikian, beban pembuktian dalam proses pemeriksaan gugatan paten proses, dapat dibebankan pula kepada tergugatnya, di samping kepada penggugatnya.
Mengingat proses persidangan Pengadilan Niaga terbuka untuk umum, hakim juga wajib mempertimbangkan kepentingan tergugat untuk memperoleh perlindungan terhadap rahasia proses yang telah diuraikannya dalam rangka pembuktian di persidangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 119 ayat (3) Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001. Perlindungan terhadap kerahasiaan paten proses sangat penting, mengingat sifat suatu proses yang pada umumnya sangat mudah dimanipulasi atau disempurnakan oleh orang yang memiliki pengetahuan yang umum di bidang teknik atau teknologi tertentu. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan ini, atas permintaan para pihak, hakim dapat mempertimbangkan untuk menetapkan agar persidangan dinyatakan tertutup untuk umum.
F. Metode Penelitian
1. Materi/bahan
a. Data primer
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung di lapangan. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari Dirjend Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Jakarta yang berkaitan dengan pelanggaran paten dan perjanjian lisensi paten yang pernah didaftarkan.
b. Data sekunder
Data primer merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung dari buku-buku, literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, hasil penelitian terdahulu, dan sebagainya.
2. Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di Jakarta
3. Responden
a. Kepala Ditjend Haki
b. Bagian Litigasi Paten
c. Dua orang penemu/pemegang paten
4. Alat pengumpulan data
a. Wawancara
Dengan mengajukan beberapa pertanyaan langsung kepada responden.
b. Kuesioner
Dengan memberikan daftar pertanyaan yang harus dijawab secara tertulis oleh
responden.
5. Analisis data
Untuk menjawab rumusan permasalahan dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif, yaitu mencoba mencari pemecahan masalah dengan mengadakan pendekatan empirik dan pendekatan teoritis terhadap permasalahan yang ditemukan di lapangan.
- Baca selengkapnya »
===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================