Did You Know? a cheetah does not roar like a lion - it purrs like a cat (meow).

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.   Latar Belakang Masalah

Di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, peranan aparatur pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan sangat dominan. Tugas pembangunan merupakan salah satu aspek dari penyelenggaraan tugas pemerintahan yang sasarannya jelas yaitu terwujudnya tujuan Nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Berkaitan dengan itu diatur tentang penyelenggara pemerintahan di Indonesia.

Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum tertulis yang tertinggi di Negara Indonesia tidak mengatur secara detail segala aspek penyelenggaraan Pemerintahan, akan tetapi hanya mengatur pokok-pokoknya saja. Sehingga pengaturan yang terkandung dalam UUD 1945 tersebut perlu dituangkan lagi dalam pelbagai peraturan perundangan yang lebih rendah tingkatnya sekaligus sebagai aturan pelaksanaannya.

Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Undang-undang ini memuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan otonomi daerah.

Otonomi daerah merupakan pilihan logis bagi Indonesia dalam upaya menata masa depan politik dan pemerintahan. Tuntutan diberlakukannya otonomi daerah dikarenakan adanya kekecewaan yang banyak dirasakan oleh daerah yang diakibatkan dominasi pusat yang begitu tinggi. Bagi pemerintah daerah otonomi tidak hanya berarti pelimpahan kekuasaan, namun justru semakin besarnya tugas-tugas pemerintahan. Pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah adalah merupakan salah satu prinsip dari desentralisasi sebagai konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi di daerah.

Pembicaraan mengenai otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai hubungan penyelenggaraan pemerintahan, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam konteks bentuk negara Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan   bahwa : “Negara Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik.” Ketentuan konstitusional itu memberikan pesan bahwa negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dibangun dalam sebuah kerangka negara yang berbentuk kesatuan (unitary), dan bukan berbentuk federasi (serikat). Dengan demikian, adanya daerah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah), haruslah diletakkan dalam bingkai pemahaman negara yang berbentuk kesatuan bukan berbentuk federasi, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas. Demikian pula, hal tersebut dipertegas dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan bahwa :

“Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga”.

 

Dalam konteks itulah, dapat dipahami bahwa sebagai konsekuensi atas pemahaman Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 maka dalam Pasal 18 UUD 1945 dirumuskan judul babnya “Pemerintahan Daerah” dengan isi pasalnya sebagai berikut :

“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

 

Dengan demikian apa yang dikatakan sebagai daerah otonom oleh Pasal 18 UUD 1945 dikonsepsikan sebagai Pemerintahan Daerah yang terdiri atas “daerah besar dan kecil”.

Pada bagian lain dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 tersebut dikatakan “Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil”. Tampaknya apa yang dimaksudkan sebagai daerah besar dalam penjelasan itu, disebut sebagai propinsi. Propinsi terdiri dari daerah-daerah yang lebih kecil, sebagaimana dikenal dengan nama Kabupaten, Kota, Kecamatan, Kelurahan/Desa. Dari sinilah kemudian sejarah otonomi daerah di Indonesia mengenal otonomi bertingkat (hirarki).

Pengaturan baru tentang Pemerintah Daerah (local government) melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ini, merupakan langkah yang penting dan relevan mengingat Pemerintah Daerah menempati posisi yang strategis dalam penyelenggaraan negara di Indonesia. Arti pentingnya pemerintah daerah ini, dapat dilihat dari alasan-alasan adanya (perlunya) pemerintah daerah sebagaimana dikemukakan Sarundajang, S.H. bahwa pemerintahan daerah merupakan konsekuensi logis dari adanya perbedaan etnis, linguistik, agama, dan institusi sosial berbagai kelompok masyarakat lokal di suatu negara. Fungsi pelayanan dan pengaturan umum di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan perlu didistribusikan secara sentral dan lokal agar ia benar-benar aspiratif, baik terhadap kepentingan nasional maupun terhadap tuntutan heterogenitas lokal dimaksud. Di samping itu adanya pemerintah daerah akan memperbesar akses setiap warga negara untuk berhubungan langsung dengan pemimpinnya dan sebaliknya pimpinan daerah akan memperoleh kesempatan luas untuk mengetahui potensi sumber daya, masalah dan kendala, serta kebutuhan daerahnya dan menghilangkan mekanisme pembuatan keputusan yang kurang efisien. Demikian juga bagi suatu daerah dengan populasi yang relatif homogen akan lebih berpeluang untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang tidak antagonistik dengan kondisi dan kebutuhan anggota masyarakat yang dominan di wilayah tertentu.[1]

Lebih jauh dengan kehadiran Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, setidak-tidaknya akan membawa pengaruh pula kepada keperluan untuk mengubah paradigma pembangunan yang telah ada menjadi sejalan dengan proses reformasi. Paradigma baru pembangunan tersebut, yaitu :[2]

1.   Dari sentralisasi dengan pemerintahan di tingkat pemerintah pusat kepada desentralisasi dengan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat.

2.   Dari pola pengambilan keputusan dari atas (top) menjadi dari bawah (down).

Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor:

HP. 0819 0405 1059/ 0812 2701 6999/ 0888 9119 100 atau Telp.0274-9553376. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :)

3.   Dari pendekatan pembangunan sektoral ke pembangunan regional holistik.

4.   Dari pembangunan dengan wilayah negara (public sphere) yang dominan ke wilayah masyarakat madani (civil society sphere) yang dominan.

5.   Dari pola pembangunan berorientasi ekonomi ke pola pembangunan menyeluruh total ekonomi-politik-budaya-agama.

Di dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah Kepala Daerah, baik dalam kapasitasnya sebagai Kepala Daerah Otonom maupun dalam kapasitasnya sebagai Kepala Wilayah, adalah administrasi negara yang harus turut serta secara aktif dalam semua sektor kehidupan. Sebab administrasi negara mengemban tugas negara dalam lapangan penyelenggaraan servis publik untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Salah satu upaya nyata yang dilakukan Kepala Daerah di Daerah adalah dalam urusan melaksanakan sejumlah urusan pemerintahan dari Pusat yang diserahkan kepada Daerah dan menjadi urusan rumah tangga Daerah sepenuhnya baik dari segi perencanaan, pembiayaan maupun segi implementasinya.

Konsekuensi logis dari tugas yang diemban Kepala Daerah ini membawa Kepala Daerah kepada suatu kebutuhan akan adanya power discritionnaire agar dapat bertindak atas inisiatif sendiri. Hal ini terutama diperlukan untuk penyelesaian persoalan-persoalan penting dan mendadak. Oleh karena itu, Kepala Daerah melakukan suatu perbuatan penetapan (beschikking handeling) yang menghasilkan ketetapan (beschikking). Salah satu ketetapan yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah adalah Keputusan Kepala Daerah.

Dalam keadaan demikian, tidak jarang terjadi sengketa yang diakibatkan oleh tindakan-tindakan Kepala Daerah yang melanggar hak dan kewajiban hak asasi manusia, maupun keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan umum. Dengan perkataan lain, penyimpangan-penyimpangan ini merupakan tindakan Kepala Daerah sebagai administrasi negara melawan hukum dan mendatangkan kerugian untuk yang terkena keputusan (rakyat).[3]

Dalam rangka melaksanakan pelayanan servis publik, khususnya pelaksanaan tugas desentralisasi, maka berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2000 kepada Kepala Daerah diberi wewenang pembuatan Keputusan Kepala Daerah. Dengan demikian pelaksanaan tugas desentralisasi dilaksanakan melalui Keputusan Kepala Daerah. Sekalipun demikian, Keputusan Kepala Daerah bukanlah satu-satunya bentuk hukum pelaksanaan tugas desentralisasi. Sebab tugas desentralisasi dapat juga dilaksanakan dengan Peraturan Daerah (Perda).

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa keikutsertaan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan urusan desentralisasi di daerah adalah sebagai ujung tombak pelaksanaan pembangunan di daerah sesuai dengan keadaan dan kondisi masing-masing.

Dengan memperhatikan bentuk peraturan perundang-undangan yang diterbitkan sebagai pelaksana urusan desentralisasi, maka dapat pula dikatakan bahwa Keputusan Kepala Daerah dan Peraturan Daerah mempunyai fungsi dan akibat hukum yang luas terhadap kebutuhan hukum masyarakat yang dikenai keputusan tersebut.

Fungsi Keputusan Kepala Daerah ini dapat terlihat langsung pada keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam pelaksanaan urusan desentralisasi. Sedangkan akibat hukum yang dapat ditimbulkannya adalah bahwa dengan Keputusan Kepala Daerah itu, Kepala Daerah siap untuk dihadapkan pada Peradilan Tata Usaha Negara (sebagai tergugat) manakala keputusan itu mengakibatkan kerugian bagi masyarakat atau badan hukum perdata. Dengan perkataan lain Keputusan Kepala Daerah ini dapat dijadikan pokok pangkal sengketa.

Namun demikian, agar pokok pangkal sengketa itu dapat dijadikan dasar gugatan, maka harus dipenuhi beberapa syarat atribusi horizontal, yaitu :[4]

1.   Subyek yaitu para pihak yang berperkara, salah satu pihaknya haruslah administrasi negara.

2.   Pangkal sengketa, yaitu ketetapan tertulis sebagai dasar perkara administrasi.

Kepala Daerah adalah pejabat tata usaha negara yang melaksanakan tugas servis publik di daerah. Keputusan-keputusan tersebut merupakan ketetapan yang dapat dijadikan pokok pangkal sengketa, manakala keputusan itu mengikat dan menimbulkan kerugian yang dikenai keputusan itu.

Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Daerah juga mengeluarkan keputusan yang dapat menimbulkan akibat hukum, bahkan sebagai pokok pangkal sengketa dan sekaligus dijadikan dasar gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara.

Kekuasaan yang dimiliki Kepala Daerah jika sampai berkembang menjadi keabsolutan, dapat menimbulkan kerugian-kerugian tertentu bagi kehidupan masyarakat. Perbuatan hukum Kepala Daerah sebagai manifestasi dari kekuasaan yang dimilikinya dan dituangkan dalam bentuk ketetapan atau keputusan yang merugikan tersebut adalah :

1.  Perbuatan melanggar hukum (onrechmatige overheidsdaad).

2.  Perbuatan yang menyalahgunakan wewenang (detournament de pouvoir).

3.  Perbuatan yang sewenang-wenang (abus de droit).

Dari ketiga perbuatan yang dapat merugikan masyarakat di atas, Kepala Daerah sebagai salah satu administrasi negara dapat diminta pertanggungjawabannya di dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Adapun pihak yang dapat menggugat adalah pihak yang dirugikan akibat keputusan Kepala Daerah tersebut.

 

B.   Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

Apakah Keputusan Kepala Daerah dalam melaksanakan tugas desentralisasi dapat dijadikan pokok sengketa?

 

C.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui kemungkinan Keputusan Kepala Daerah dijadikan pokok sengketa dalam melaksanakan tugas desentralisasi.

 

 D.    Kegunaan Penelitian

Melalui penulisan ini dapat dipahami bahwa kekuasaan Kepala Daerah dibatasi oleh pranata hukum, sehingga Kepala Daerah dapat diminta pertanggungjawabannya di depan hukum, dalam hal ini melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Di samping itu dapat diketahui penyelesaian pokok sengketa akibat keputusan kepala daerah dalam melaksanakan tugas desentralisasi.

 

E.   Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode pendekatan hukum, yaitu suatu metode pendekatan masalah dengan  melihat adanya pembatasan kekuasaan penyelenggara negara melalui hukum yang berlaku dan adanya kemungkinan pejabat negara untuk diminta pertanggungjawabannya di depan hukum.



 

[1] Sarundajang, Pemerintahan Daerah Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hal. 3. 

 

[2] Emil Salim, Paradigma Pemerintahan Indonesia Setelah Berlakunya Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 2000, hal. 109-110.

 

 

                [3] Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1989, hal. 213.

 

                [4] Ibid, hal. 209.

    Baca selengkapnya »

===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================

Judul terkait:

Keyword:

PENGERTIAN KEPALA DAERAH (63), tugas kepala daerah (43), fungsi kepala desa (38), fungsi kepala daerah (33), tugas dan fungsi kepala daerah (27), fungsi desentralisasi (25), makalah desentralisasi (22), pengertian abus de droit (21), keputusan kepala daerah (20), Peraturan Kepala Daerah (18)

Layanan Referensi & Konsultan Skripsi Tesis & Disertasi   No.HP.0819.0405.1059  Home: (0274) 9553376