KEWENANGAN PRESIDEN DALAM KEADAAN DARURAT
Jul 4th, 2008 by admin3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diskursus mengenai lembaga-lembaga negara di
UUD 1945 memberikan wewenang tertentu kepada presiden dalam menjalankan tugas pemerintahan. Namun demikian pemberian wewenang tersebut tidak diikuti dengan batasan-batasan terhadap penggunaannya. Soekarno, mantan presiden RI, dalam rapat pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan bahwa UUD 1945 adalah “UUD Kilat”, ini dikarenakan mendesaknya keinginan untuk memproklamasikan kemerdekaan pada saat itu sehingga infrastruktur bagi sebuah negara yang merdeka harus segera disiapkan. Hal ini menyebabkan UUD 1945 menjadi UUD yang singkat dan sangat interpretatif. Upaya politik untuk tidak mengadakan perubahan terhadap UUD 1945, sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 sendiri (Pasal 3 juncto Aturan Peralihan, butir 2), juga tidak diikuti oleh upaya lembaga legislatif untuk membuat ketentuan lebih lanjut terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945. Tidak banyak pasal dalam UUD 1945 yang telah diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya dan pasal-pasal yang mengatur mengenai wewenang presiden sebagai kepala negara merupakan beberapa di antaranya.
Dalam menjalankan kekuasaannya, presiden diberikan kekuasaan yang sangat besar oleh UUD 1945, yaitu antara lain tercantum dalam Pasal 10 sampai Pasal 15. Dalam pelaksanaannya, ternyata kekuasaan tersebut telah banyak menimbulkan berbagai masalah yang sampai saat ini masih diwarnai pendapat pro dan kontra seputar penggunaannya. Hal ini dapat disebabkan karena tiga hal. Pertama, besarnya kekuasaan presiden tersebut tidak diikuti dengan mekanisme dan pertanggungjawaban yang jelas. Padahal hak-hak tersebut sifatnya substansial bagi kehidupan bangsa sehingga memerlukan adanya kontrol, misalnya pemilihan duta dan konsul, penentuan susunan kabinet, wewenang untuk menyatakan perang, dan lain-lain. Kedua, fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah telah sedemikian besarnya sehingga menimbulkan sensitivitas dalam tubuh masyarakat terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya presiden. Ketiga, berkaitan erat dengan yang kedua, sensitivitas ini juga didorong oleh tumbuhnya kesadaran masyarakat dengan sangat cepat dengan dipicu oleh atmosfir reformasi yang tengah berjalan pada saat ini.
Diskusi dan kajian tentang negara di
Studi ini ingin menjadi bagian dari diskurus tentang kekuasaan
B. Pokok Permasalahan dan Tujuan Penelitian
Studi ini dilakukan dengan beberapa permasalahan yang dianggap mendasar bagi pelaksanaan kekuasaan presiden tersebut, yai-tu :
Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor: HP. 0819 0405 1059/ 0812 2701 6999/ 0888 9119 100 atau Telp.0274-9553376. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :) |
1. Apa saja bentuk kekuasaan presiden RI dalam hukum positif
2. Sistem dan mekanisme apa yang dibutuhkan untuk mengurangi kecenderungan penyimpangan kekuasaan dari pelaksanaan kekuasaan tersebut?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan gambaran tentang konsep-konsep dan dasar hukum kekuasaan presiden RI.
2. Menganalisis secara konseptual mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden RI yang terdapat dalam hukum poistif di
3. Mengemukakan rekomendasi terhadap makanisme pelaksanaan kekuasaan presiden RI di masa mendatang.
C. Deskripsi Umum Pelaksanaan Kekuasaan Presiden Di Masa Orde Baru
Dalam banyak literatur telah dinyatakan bahwa UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar pada
Mohtar Maso’ed mencatat bahwa latar belakang utama terbentuknya rezim orde baru yang otoritarian adalah trauma konflik politik yang parah, baik horisontal maupun vertikal, dan terpuruknya perekonomian
Kewenangan membentuk Keputusan Presiden (Keppres) yang mandiri adalah salah satu wujud kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden. Sebagaimana telah disinyalir oleh berbagai pakar dan penelitian, kewenangan ini cenderung mengalami penyimpangan baik secara formil maupun materil, sehingga menjadi salah satu yang signifikan pada saat ini untuk dilakukan pengkajian ulang atas kewenangan pembentukan Keppres yang mandiri oleh presiden, di samping bentuk-bentuk lain dari kekuasaan pemerintahan lainnya.
Kekuasaan sebagai kepala negara oleh beberapa pakar hukum tata negara dikonsepkan secara berbeda-beda. Padmo Wahjono menyatakan kekuasaan presiden sebagai kepala negara secara sempit, sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan peraturan perundang-undangan dalam hal pengangkatan-pengangkatan, adalah kekuasaan/kegiatan yang bersifat administratif, karena didasarkan atau merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau advis suatu lembaga tinggi legara lainnya. Jadi bukan hak prerogatif yang mandiri. Dalam kenyataannya, selama pemerintahan orde baru, kewenangan yang “hanya” bersifat adminsitratif ini cukup berpengaruh terhadap jalannya praktek politik dan kenegaraan di Indonesia. Pengangkatan hakim-hakim, anggota-anggota MPR dan DPR, serta jabatan-jabatan penting lainnya, merupakan ajang seleksi politik bagi orang-orang yang akan memasuki wilayah kekuasaan negara. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa orang-orang yang berada di “lingkar luar” kekuasaan sangat sulit untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam lembaga-lembaga negara dan pemerintahan. Oleh karena itu, lembaga-lembaga yang harusnya melakukan fungsi kontrol, tidak dapat bertindak secara optimal bahkan mandul.
Kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif serta kekuasaan militer dan darurat, merupakan tambahan dari kekuasan presiden yang konvensional. Secara konseptual, ketiga kekuasaan yang langsung diberikan oleh UUD 1945 ini tidak dilakukan secara mandiri oleh presiden, namun pada taraf pelaksanaan tampak kekuasaan presiden begitu dominan, terutama dalam bidang pembentukan undang-undang dan dalam kedudukannya sebagai penguasa tertinggi militer. Legitimasi konstitusi saja tampaknya tidak cukup bagi orde baru. Untuk menghindari terulangnya keadaan di masa orde lama, orde baru secara sistematis berusaha memusatkan kekuasaan dengan melemahkan institusi-institusi yang seharusnya dapat menjadi lembaga kontrol yang mengimbangi kekuasaan presiden yang dominan. Institusi-institusi tersebut hampir merupakan seluruh bagian dari sistem kenegaraan di Indonesia. Mulai dari lembaga tertinggi dan tinggi negara, infrastruktur politik, pers, infrastruktur hukum sampai instritusi-institusi yang ada di dalam masyarakat hingga ruang lingkup terkecil, tak lepas dari intervensi kekuasaan. Kedudukan birokrasi yang dominan ini didukung oleh unsur-unsur yang merupakan sumber kekuasaannya, yaitu kerahasiaan, monopoli informasi, keahlian teknis dan status sosial yang tinggi. Selama masa kepemimpinan Soeharto, unsur-unsur inilah yang kemudian menjadikan rezim yang dipimpinnya hampir steril dari kontrol lembaga lain, dan justru menjadi dasar bagi fungsi pengendalian atas masyarakat.
Jadi cukup jelas sebenarnya, kekuasaan presiden yang besar yang diberikan oleh UUD 1945 selama masa keberlakuannya, cenderung dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk kepentingan-kepentingan politiknya sendiri. Kekuasaan Presiden ini kemudian hanya menjadi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan golongan tertentu yang pragmatis sifatnya dan secara empiris selalu mengorbankan, atau paling tidak mengeliminasi, kepentingan demokratisasi di Indonesia.
Baca selengkapnya »
===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================