LAKIP SEBAGAI UKURAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH
Jul 27th, 2008 by admin5
LAKIP SEBAGAI UKURAN
KINERJA INSTANSI PEMERINTAH
Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat, di samping adanya pengaruh globalisasi. Pola-pola lama penyelenggaraan pemerintah tidak sesuai lagi bagi tatanan masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu, tuntutan itu merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik (LAN dan BPKP 2000:5).
Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor: Hp/Wa. 0812 2701 6999 atau 0817 273 509. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :) |
Dalam dunia birokrasi, akuntabilitas suatu instansi pemerintah itu merupakan perwujudan kewajiban instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi instansi yang bersangkutan, telah ditetapkan Tap MPR-RI nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Neopotisme dan Undang-undang nomor 28 tahun 1999 dengan judul yang sama sebagai tindak lanjut Tap MPR tersebut. Sebagai tindak lanjut dari produk hukum tersebut telah diterbitkan Inpres Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAN, 2000:2).
Kinerja instansi pemerintah banyak menjadi sorotan akhir-akhir ini, terutama sejak timbulnya iklim yang lebih demokratis dalam pemerintahan. Rakyat mulai mempertanyakan akan nilai yang mereka peroleh atas pelayanan yang dilakukan oleh instansi pemerintah. Walaupun anggaran rutin dan pembangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah semakin banyak, nampaknya masyarakat belum puas atas kualitas jasa maupun barang yang diberikan oleh instansi pemerintah.
Di samping itu, selama ini pengukuran keberhasilan maupun kegagalan dari instansi pemerintah dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sulit untuk dilakukan secara objektif. Kesulitan ini disebabkan belum pernah disusunnya suatu sistim pengukuran kinerja yang dapat menginformasikan tingkat keberhasilan suatu organisasi (LAN, 2000:1).
Kinerja dapat dijelaskan sebagai suatu kajian tentang kemampuan suatu organisasi dalam pencapaian tujuan. Penilaian kinerja dapat dipakai untuk mengukur kegiatan-kegiatan perusahaan/organisasi dalam pencapaian tujuan dan juga sebagai bahan untuk perbaikan di masa depan. Menurut Atmosudirdjo (1997:11) kinerja juga dapat berarti prestasi kerja, prestasi penyelenggaraan sesuatu. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa kinerja organisasi merupakan suatu prestasi kerja dan proses penyelenggaraan di mana tujuan organisasi ingin dicapai. Dalam konteks penilaian ini, yang dimaksud dengan kinerja ialah melihat sampai sejauh mana prestasi dalam pelaksanaan tugas pada Dinas Pasar Kota Jambi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dari hasil studi awal dilapangan menunjukkan bahwa faktor keuangan daerah (kemampuan PAD) serta kemampuan aparat dinas pasar (tingkat pendidikan formalnya) masih tergolong rendah. Pemikiran ini didasari atas asumsi bahwa; masih terdapat personil-personil dinas pasar Kota Jambi yang cukup banyak memiliki latar belakang pendidikan yang dapat dikatagorikan tergolong rendah dimana mereka yang berpendidikan S1 sebanyak 6 orang (7,8%), SM sebanyak 4 orang (5,2%), SMU sebanyak 51 orang (66,2%) dan SLTP/SD sebanyak 16 orang (20,8%).
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah, kemampuan keuangan daerah (kesesuaian pencapaian tingkat PAD yang diperoleh) merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang suatu daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Sejalan dengan ini Sachroni (1997; 17) mengatakan bahwa permasalahan pokok yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi di kabupaten/kota adalah menyangkut masalah sumber daya manusia (aparatur) dan sumber daya dana (keuangan). Dalam hal ini kemampuan aparat pemerintah daerah relatif masih rendah, yang antara lain disebabkan kurangnya pendidikan dan pelatihan serta biaya yang kurang mendukung untuk meningkatkan sumber daya manusia, di samping itu sistem pembinaan karier yang tidak jelas dan tidak konsisten mengakibatkan aparat tidak terdorong untuk lebih meningkatkan perestasi kerjanya.
Tuntutan yang gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintah yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat, di samping adanya pengaruh globalisasi. Oleh karena itu tuntutan tersebut merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
- Baca selengkapnya »
===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================