Did You Know? During your lifetime, you'll eat about 60,000 pounds of food, that's the weight of about 6 elephants!

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.   Latar Belakang Masalah

Krisis ekonomi dan politik yang menghantam mulai pertengahan tahun 1997, mengharuskan bangsa Indonesia menelaah kembali konsep-konsep, metode-metode dan praktek-praktek penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara yang diterapkan selama tiga dekade terakhir yang diyakini berperan besar dalam menyumbang terjadinya krisis tersebut.

Pemerintahan yang sentralistis dan birokrasi yang patrimonialistik, penyelenggaraan negara yang terlepas dari kontrol sosial dan kontrol politik suprastruktur dan infrastruktur politik, serta ideologi pembangunanisme yang tidak berbasis pada ekonomi kerakyatan, berimplikasi luas pada praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di dalam tubuh pemerintahan Indonesia di bawah rezim Orde Baru.

Orientasi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktek KKN sebenarnya telah menjadi diskursus sejak awal berdirinya Orde Baru. Berbagai instrumen hukum dan lembaga telah dibentuk dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dikeluarkannya Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, dan Keppres No. 33 Tahun 1986 tentang Kewajiban Pelaporan Pajak Pribadi bagi Pejabat Negara, PNS, ABRI, BUMD dan BUMN menunjukkan hal tersebut.[1]

Namun ternyata kemudian terlihat, upaya-upaya tersebut hanya berhenti sampai tataran normatif dan tidak berlanjut ke tataran yang kongkret dan operasional. Ekonomi biaya tinggi dan krisis kepercayaan kepada pemerintah merupakan bukti dari tidak pernah adanya komitmen dan tindakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah Orde Baru untuk mencapai tujuan tersebut.

Gerakan Reformasi yang dipelopori mahasiswa telah membawa pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagai salah satu tuntutan yang tidak dapat dikompromikan. Setelah kejatuhan Soeharto isu ini terus disuarakan oleh berbagai kelompok masyarakat.

Keterangan: Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap judul diatas dalam format Msword hubungi ke nomor:

Hp/Wa. 0812 2701 6999 atau 0817 273 509. Skripsi Rp300rb, Tesis Rp500rb. Layanan ini bersifat sebagai referensi dan bahan pembelajaran. Kami tidak mendukung plagiatisme. Jika belum jelas, jangan ragu telepon kami :)

Tuntutan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN kembali marak setelah terjadinya krisis ekonomi mulai pertengahan tahun 1997. Sidang Umum MPR pada bulan Maret 1998 ramai membahas tentang perlu-tidaknya seseorang melaporkan dan mengumumkan harta kekayaan yang dimiliki sebelum dan sesudah menduduki suatu jabatan negara. Perdebatan sidang umum tersebut terjawab pada Sidang Kabinet Pembangunan VII tanggal 17 Maret 1998 yang memutuskan agar pejabat tinggi negara dan pejabat negara lainnya melaporkan seluruh harta kekayaan pribadi, termasuk harta istri maupun suami, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.

Laporan ini bersifat tertutup hanya kepada Presiden dan tidak dilaporkan kepada masyarakat dengan alasan etika. Pelaksanaan hasil sidang kabinet tersebut sekali lagi – tidak pernah terealisir. Kondisi struktural dan demonstrasi mahasiswa memaksa Soeharto turun dari kursi kepresidenan pada bulan Mei 1998 dan kemudian ia digantikan oleh Wakil Presiden Habibie yang langsung menyusun Kabinet Reformasi Pembangunan. Jatuhnya Soeharto sebagai pimpinan Orde Baru dan lemahnya legitimasi politik Kabinet Reformasi menjadikan tuntutan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN tidak dapat dibendung lagi oleh pemerintah.[2]

Perdebatan mengenai upaya menciptakan clean govermance di Indonesia terulang kembali pada Sidang Istimewa MPR yang diadakan pada bulan November 1998. Perdebatan yang alot dan ‘berdarah’ tersebut akhirnya menghasilkan Tap MPR-RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Materi utama dari Tap MPR tersebut adalah mengenai keharusan seorang pejabat negara untuk mengumumkan harta kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat; perintah kepada Kepala Negara RI untuk membentuk suatu lembaga dalam rangka melaksanakan pemeriksaan kekayaan pejabat tersebut dan tercantumnya nama mantan Presiden Soeharto dalam upaya pemberantasan KKN oleh pemerintah.

Berdasarkan arahan dari Tap MPR-RI No. XI/MPR/1998, pemerintah membentuk Undang-undang tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999. Undang-undang ini diharapkan dapat dijadikan landasan utama dari pemerintah yang sekarang dan di masa depan dalam rangka menciptakan penyelenggaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersih, berwibawa, dan profesional serta mengabdi pada kepentingan masyarakat luas.[3]

Terlepas dari itu semua, upaya untuk memerangi KKN ini tidak akan berhasil tanpa adanya peran aktif masyarakat. Untuk itu Forum Anti Korupsi yang terdiri dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki perhatian terhadap persoalan KKN meminta peran aktif masyarakat dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN. 

 

B.   Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat diketahui bahwa upaya untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme sangat sulit. Dalam hal ini juga disadari bahwa peran serta dari masyarakat sangat diperlukan untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Berkaitan dengan itu dirumuskan masalah sebagai berikut :

1.  Bagaimanakah konsepsi penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN?

2.  Bagaimanakah bentuk peran serta masyarakat dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN?

 

C.   Tujuan dan Kegunaan

Seiring  dengan  adanya  Undang-undang  tentang  Pemerintahan

yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan dengan dilandasi komitmen untuk ikut berperan serta di dalam mewujudkan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN, maka kajian ini bertujuan untuk mengetahui konsepsi penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN dan mengadakan analisis akademis terhadap bentuk peran serta yang dapat dilakukan masyarakat dalam mewujudkan  Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Adapun kegunaan penulisan ini adalah :

1.  Dapat disumbangkan kepada civitas akademika Program Pasca Sarjana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

2.  Dapat digunakan untuk memotivasi masyarakat untuk meningkatkan peran sertanya dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

 



 

                [1] BPKP, Himpunan Peraturan Tentang Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, BPKP, Jakarta, 2001, hal. 1.

 

                [2] Pariba, UU Politik Buah Reformasi Setengah Hati, Sembrani Aksara Nusantara, Jakarta, 1999, hal. 45.

 

                [3] Ibid.

    Baca selengkapnya »

===================================================
Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.
===================================================

Judul terkait:

Keyword:

makalah hukum administrasi negara (171), hukum administrasi negara (136), makalah administrasi negara (101), makalah han (75), artikel hukum administrasi negara (51), Makalah Hukum Tata Negara (51), kasus hukum administrasi negara (48), hukum administrasi (37), makalah tentang hukum administrasi negara (35), hukum administrasi publik (28)

Layanan Referensi & Konsultan Skripsi Tesis & Disertasi   No.HP/WA.0812 2701 6999  / 0817 273 509